Tokoh Minangkabau Angkat Bicara Soal Injil Berbahasa Minang: Sayangilah Negeri Jangan Dirusak

  • Kamis, 04 Juni 2020 - 05:08:19 WIB | Di Baca : 1964 Kali

SeRiau - Tokoh sekaligus ulama sesepuh Minangkabau akhirnya angkat bicara terkait kasus yang menuai polemik di kalangan masyarakat ihwal kitab Injil berbahasa Minangkabau yang beredar di aplikasi Google Playstore beberapa hari terakhir ini.

Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Masoed Abidin berharap dan meminta semua masyarakat Sumbar, terutama masyarakat Minangkabau agar menahan diri atas peristiwa yang sedianya bisa menimbulkan sentimen keagamaan Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) tersebut.

Ia mengimbau agar semua pihak, termasuk pihak yang diduga menjadi pemicu potensi kegaduhan, mengingat kondisi objektif saat ini semua lapisan masyarakat Indonesia tengah mengahadapi pandemik virus corona baru (Covid-19), agar berhenti meneruskan niat jahatnya.

"Sayangilah negeri ini, jangan dihancurkan, juga jangan dirusak juga. Kita ini satu bangsa. Bagaimana itu ya cara menyampaikannya lagi, astagfirullahaladzim," ujar Buya Masoed Abidin saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu, Rabu (3/6) malam.

Buya Masoed Abidin menuturkan, peristiwa penyebaran Kitab Injil berbahasa Minangkabau ini bukan kali pertamanya terjadi di Indonesia.

Pasalnya, pada tahun 1997-1998 pernah terjadi penyebaran Alkitab Injil berbahasa Minangkabau.

"Ini peristiwa mengulang kali 22 tahun yang lalu," kata Buya Masoed Abidin.

Pada tahun 1997-1998 tepat 22 tahun silam Majelis Ulama Sumatera Barat bersama Kementerian Agama Sumbar yang diwakili oleh Adli dan membicarakan persoalan Injil berbahasa Minangkabau ini bersama-sama dengan Danrem Sumbar Kolonel Agus.

Buya Masoed Abidin mengatakan, pernah beredar kitab Injil berbahasa Minangkabau dan lebih dari 7000 eksemplar buku bersampul warna hijau itu di Sumbar kala itu. Namun, ketika itu diundang lah oleh pihak Danrem puluhan pemuka agama dari pihak Gereja di seluruh tanah Minang.

"Ketika itu diundang lah oleh Danrem 40 petugas-petugas gereja yang ada di Sumatera Barat dari berbagai unsur, ke tempat Korem atau ke kantornya. Ketika itu dari majelis ulama dan dari kementerian Agama mengatakan; adakah di gereja tuan-tuan orang Minang yang Kristen? jawab mereka semua, ke 40-nya; tidak ada. Kalau memang tidak ada, apa gunanya mencetak buku Injil berbahasa Minang? apa maksudnya? Nah pertanyaan sedemikian itu dijawab oleh mereka; kami tidak tahu," ucap Buya Masoed Abidin bercerita.

Meski begitu, konteks hari ini terkait adanya aplikasi berbasis digital yakni kitab Injil berbahasa Minangkabau, maka sebaiknya tidak diteruskan oleh pihak-pihak yang secara sengaja maupun tidak sengaja membuat kegaduhan baru, terlebih ditengah pandemik Covid-19 seperti saat ini, kepada masyarakat Minangkabau.

"Kalau sekarang kan aplikasi ya digital, dulu bukunya langsung, cetakannya langsung yang disebarkan. sehingga waktu itu kita kan sedang menghadapi awal awal reformasi ya," tuturnya.

"Buya masih ingat betul waktu itu terjadi pembakaran di Situbondo, masih ingat tahun 1997-1998, waktu itu malah utusan yang datang ke Danrem itu mengatakan bila buku ini sampai ke pesantren-pesantren atau madrasah-madrasah yang ada di Sumatera Barat barangkali akan terjadi persoalan sama seperti di Situbondo itu. Apa jawab danrem? jangan terjadi yang demikian, jangan terjadi, mohon kita jaga negeri kita ini," ujarnya.

"Nah ketika itu oleh pemerintah cepat diantisipasi disita 7000 buku, dan alhamdulillah dengan terjadi peristiwa yang seperti itu antara pemerintah daerah dengan pemimpin-pemimpin agama dari kementerian agama dan juga majelis ulama ya dan satu lagi dari dewan dakwah kalau Buya tidak salah, 3 itu unsur yang datang dari umat Islam 40 dari gereja-gereja, disepakati bahwa persoalan ini tidak terjadi di Sumatera Barat, selesailah, sehingga Sumatera Barat aman," sambungnya.

Kata Buya Masoed Abidin, telah dilakukan musyawarah dalam rangka menyikapi hal tersebut yang terjadi di era orde baru itu. Karenanya, filosofi orang Minangkabau "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" tidak diintervensi oleh pihak-pihak yang dianggap mengancam keutuhan adat dan kebudayaan Indonesia itu sendiri.

"Sebab yang merusak negara ini kan ketidakpercayaan satu sama lain, iya kan? Apa yang disebut orang SARA dll," kata Buya Masoed Abidin.

"Sekarang tidak mungkin disebarkan buku tetapi disebarkan aplikasi karena semua orang di rumah akan memakai peralatan peralatan digital kan. Tapi kesempatan ini dipelajari betul oleh gerakan-gerakan misi. Berarti gerakan ini terstruktur. Kita bernasehat kepada mereka yang mempunyai kegiatan ini, mbok ya 'anda sadar lah jangan dirusak juga bangsa ini'," imbuhnya.

Lebih lanjut, Buya Masoed Abidin Mengabadikan bahwa umat Islam yang tengah menghadapi pandemi Covid-19 ini diyakini justru bisa mengundang bencana di tanah air.

"Yang akan mengubah ini adalah yang membuat aplikasi itu. Bagaimana kita menyampaikan itu, siapa yang berhak menyampaikan itu, ya Buya nggak berhak menyampaikan itu, cuma perasaan hati ibu yang menyampaikan yang sedemikian itu, mbok ya anda yang mencoba-coba membikin ini. Sayangilah masyarakat di tengah wabah ini jangan diundang hal-hal yang menyebabkan bencana," demikian Buya Masoed Abidin. (**H)


Sumber: rmol.id





Berita Terkait

Tulis Komentar