Tren Inflasi Melambat, Ekonom: Indikator Permintaan Turun

  • Rabu, 03 Juni 2020 - 05:23:49 WIB | Di Baca : 1934 Kali

SeRiau - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pergerakan pola inflasi melambat pada periode Ramadhan dan Idul Fitri lalu. Pada periode inflasi April dan Mei hanya tercatat masing-masing sebesar 0,08 persen dan 0,07 persen atau menurun dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menambahkan pola inflasi yang rendah jadi indikator sisi permintaan mengalami penurunan tajam. Jadi bukan karena harga pokok stabil, tapi karena yang beli berkurang.

“Buktinya komponen volatile food atau barang yang bergejolak misalnya deflasi minus 0,05 persen padahal ada momentum ramadan dan lebaran. Ini anomali yang tercipta karena adanya pandemi dan pelarangan mudik. Inflasi yang rendah terjadi pada komponen pakaian jadi dan alas kaki, tidak wajar apabila momen lebaran harga pakaian jadi hanya naik 0,09 persen,” ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (2/6).

Menurutnya faktor utama rendahnya permintaan bisa ditelusuri dari perilaku simpanan masyarakat. Hal ini terlihat dari kelas atas cenderung menyimpan uangnya di bank.

“Terlihat dari kenaikan angka simpanan di atas Rp 5 miliar per April 2020 yang tumbuh 5 persen secara year to date. Itu sudah pertanda adanya prilaku saving untuk mempersiapkan skenario ekonomi yang melambat,” ucapnya.

Sedangkan kelas menengah ke bawah dengan simpanan Rp 100 juta ke bawah mengalami penurunan sebesar dua persen pada periode yang sama. Kelas menengah bawah menarik simpanan karena adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan penurunan daya beli secara signifikan.

“Dari sisi pasokan para petani dan pedagang mengeluh untuk menjual bahan makanan saat PSBB. Daripada tidak bisa masuk ke Jakarta dan disuruh memutar balik akhirnya banyak yang urun menjual barangnya. Terjadi overproduksi sehingga pangan deflasi. Tutupnya beberapa restoran, hotel dan supermarket juga mempengaruhi permintaan pangan,” ucapnya.

Ke depan, memasuki fase new normal pergerakan inflasi pada Juni diperkirakan akan tetap rendah, tren deflasi bahan makanan masih berlanjut.

“Pembukaan mal misalnya tidak akan mampu menarik konsumen, bahkan mal yang buka mungkin melakukan diskon secara jor-joran. Barang yang dijual juga untuk menghabiskan stok lama. Konsumen kelas menengah atas yang jadi sasaran pusat perbelanjaan mengkhawatirkan keselamatan dirinya ditengah kasus baru Covid19 masih tinggi. New normal tidak berarti minat belanja masyarakat naik,” jelasnya.

Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan pergerakan pola inflasi yang rendah menunjukkan harga-harga pada tingkat konsumen relatif stabil. “Ada yang harga nya turun, ada yang naik to secara keseluruhan relatif stabil,” ucapnya.

Menurutnya faktor yang menyebabkan relatifnya stabil adalah pertama, sisi demand terjadi penurunan yang cukup signifikan akibat wabah.

“Kita pahami bahwa di tengah wabah minat konsumsi masyarakat sangat menurun, masyarakat cenderung hanya mengkonsumsi barang pokok saja. Restoran hotel banyak yang tutup, jadi permintaan menjadi sangat terbatas, penurunan ini diperburuk oleh banyak masyarakat yang kehilangan income, karena kena PHK atau tidak berjalannya usaha jadi  daya beli menurun,” jelasnya.

Kedua, lanjut Piter, pasokan barang relatif terjaga, produk pertanian masih relatif tersedia bahkan berlimpah sehingga dengan permintaan yang menurun banyak produk pertanian yang harganya turun.

“Ketersediaan supply didukung juga oleh kebijakan pemerintah yang melonggarkan impor untuk barang-barang pangan. Maka dengan demand yang rendah sementara disisi lain pasokan supply relatif terjaga, maka inflasi menjadi sangat rendah,” ucapnya. (**H)


Sumber: REPUBLIKA.CO.ID





Berita Terkait

Tulis Komentar