Muhammadiyah Kritik Pemerintah Anggap Objek Radikalisme Hanya Islam

  • Kamis, 27 Februari 2020 - 18:53:53 WIB | Di Baca : 1344 Kali

SeRiau - Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menilai masih terdapat bias dalam paradigma pemerintah menyikapi isu radikalisme berikut kontra-radikalisme. Haedar mengkritisi pemahaman yang hanya menempatkan Islam sebagai objek radikalisme.

Padahal, menurut Haedar, radikalisme-terorisme tidak saja muncul dari kalangan beragama Islam, melainkan juga agama atau latar belakang identitas yang lainnya.

Pandangan itu disampaikan Haedar dalam sesi sidang pleno Kongres Umat Islam Indonesia ke-VII, dengan tema ‘Strategi Perjuangan Umat Islam Indonesia dalam Mewujudkan NKRI yang Maju, Adil, dan Beradab’. Kongres ini berlangsung di Hotel Novotel, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pada 26-29 Februari.

“Umat Islam tampak sebagai objek, yang ditandai dengan kebijakan-kebijakan dan program 'deradikalisasi' seperti tentang majelis taklim, masjid terpapar radikalisme, BUMN terpapar radikalisme, PAUD terpapar radikalisme yang subjeknya diidentifikasi terkait Islam dan umat Islam,” ungkap Haedar dalam forum kongres.

“Tidak terdengar radikalisme-terorisme terkait golongan lain (primordialisme), separatisme, sebagaimana dengan kerusuhan di suatu daerah beberapa waktu lalu yang menewaskan 33 jiwa,” sambung Haedar.

Dalam tataran luas, pimpinan Muhammadiyah itu menyebut bias tersebut juga terjadi pada masyarakat. Bahkan sesama umat Islam pun masih memiliki pemahaman dah pemandangan yang berbeda soal radikalisme.

“Bahkan dengan elemen umat Islam di pihak lain, bahkan boleh jadi sesama golongan umat Islam pun masih terdapat perbedaan pandangan,” tuturnya.

Untuk itu, Haedar menyebut, penting bagi sesama umat Islam melakukan dialog untuk mencari kesamaan pandangan soal radikalisme dan ekstremisme di Indonesia.

Dalam kesempatan itu, Haedar mendorong agar umat Islam Indonesia memiliki pandangan dan sikap yang tegas soal radikalisme, yaitu memberantas radikalisme dari latar belakang apa pun, baik Islam maupun tidak.

“Umat Islam perlu memiliki pandangan yang jelas dan tegas untuk menolak segala bentuk radikalisme-ekstremisme dan terorisme atas nama apa pun, termasuk yang menggunakan dalil dan pandangan ke-Islam-an,” tandasnya.

Kongres ini diikuti para pengurus MUI seluruh Indonesia, perwakilan organisasi Islam, ulama, unsur pondok pesantren, hingga unsur perguruan tinggi dengan total peserta sekitar 800 orang.

Dalam kegiatan kongres ini, para ahli agama atau cendikiawan akan membicarakan berbagai topik, dan membentuk tawaran-tawaran solusi yang akan disampaikan kepada pemerintah. Topik itu menyangkut pendidikan, ekonomi, budaya, hukum dan sosial dan politik. (**H)


Sumber: kumparan.com





Berita Terkait

Tulis Komentar