WNI di Singapura Terpapar Corona dari Majikannya

  • Selasa, 04 Februari 2020 - 23:10:47 WIB | Di Baca : 1083 Kali

SeRiau - Singapura telah melaporkan enam kasus positif corona baru, Selasa (4/2). Satu di antaranya adalah WNI yang bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di Singapura.

WNI tersebut diperkirakan terpapar corona akibat tertular dari majikannya. WNI berusia 44 tahun tersebut dilaporkan mengalami gejala corona pada Ahad dan tidak meninggalkan kediaman sampai dia dibawa ke Singapore General Hospital pada Senin (3/2).

Kasus tersebut bersama kasus baru corona lain menjadi kondisi penularan corona secara lokal yang pertama di Singapura. Empat warga Singapura tanpa sejarah bepergian ke China dites positif corona.

Salah satu di antaranya adalah pemandu wisata bagi turis China, dua kasus lagi adalah pekerja di toko tempat grup wisata China berkunjung, dan satu lagi adalah kasus WNI yang bekerja sebagai ART.

Grup tur wisata dari China itu tiba di Singapura pada 22 Januari. Mereka lalu melancong ke Malaysia pada 24-26 Januari dan masuk lagi lewat Woodlands Checkpoint pada 27 Januari untuk lalu terbang ke China lewat Changi.

Grup wisatawan itu berasal dari Guangxi dan setidaknya dua di antara mereka telah terkonfirmasi corona, ujar Kementerian Kesehatan Singapura dikutip dari Channel News Asia.

"Kementerian Kesehatan telah menelusuri jejak kontak dengan individu-individu yang memiliki kontak dengan kasus corona, untuk bisa membatasi penyebaran lebih lanjut," ujar Menteri Kesehatan Singapura, Gan Kim Yong.

Sedang dua kasus corona lainnya adalah warga Singapura yang dievakuasi dari Wuhan. Saat total positif corona di Singapura telah mencapai 24.

Kasus corona akibat kontak dengan turis China adalah pekerja di toko Yong Thai Hang, sebuah toko kesehatan yang banyak didatangi turis China. Mereka adalah kasus ke-19 dan 20 yang dilaporkan.

Pada kasus ke-19, wanita berusia 28 tahun dilaporkan mengalami sakit tenggorokan dan demam pada 29 Januari. Dia lalu ke RS Tan Tock Seneng pada 30 Januari. Ketika itu dia dilepaskan setelah hasil X-Ray tidak menemukan pneumonia.

Dia lalu tetap di rumah hingga 31 Januari sampai akhirnya dibawa ke Singapore General Hospital.

Kasus ke-20 adalah wanita 48 tahun yang melaporkan kondisinya pada 25 Januari dan dimasukkan ke National Centre for Infectious Diseases kemarin. Sedangkan kasus ke-21 adalah WNI yang bekerja sebagai ART pasien kasus ke-19.

Kementerian mengatakan empat kasus transmisi lokal bukan bukti kalau adanya penyebaran corona secara komunitas. Sebab penderita bisa ditelusuri dengan turis China dan melakukan kontak dengan dengan turis China.

Gan menjelaskan, ada perbedaan adalah transmisi lokal dan penyebaran komunitas. "Bedanya adalah di sini kami bisa mengidentifikasi semua sumber yang terlibat. Sumbernya adalah turis China. Kami ada nama-namanya. Kami ada indikasi semua pasien yang sakit," katanya.

Ia menambahkan, karena itu kami bisa mengidentifikasi sumbernya. "Kalau kami bisa melingkari kluster tertentu ini, kami bisa mengontrol penyebarannya. Karena itu kami mengatakan ini adalah penularan lokal yang terbatas."

Kategori Rendah

Virus corona jenis baru atau virus 2019 novel Coronavirus (2019-nCoV) telah menyerang hampir 19 ribu orang di seluruh dunia dan menyebabkan 475 orang meninggal. Merujuk pada angka itu bisa dikatakan bahwa virus 2019-nCoV mampu menyebar dengan sangat cepat, namun angka kematiannya dikategorikan masih rendah.

Mengapa hal itu terjadi? Dokter spesialis paru Rumah Sakit Universitas Indonesia, dr Raden Rara Diah Handayani menjelaskan bahwa setiap virus memiliki virulensi atau kemampuan untuk menciptakan suatu penyakit. Adapun virus 2019-nCoV, kemampuannya sangat tinggi dalam menyebabkan penyakit, mulai dari skala ringan hingga berat, bergantung pada imunitas tubuh setiap orang.

"Makanya jika ada kasus meninggal karena virus corona baru biasanya dia sudah memiliki riwayat penyakit terdahulu, seperti diabetes, usia tua, atau penyakit paru yang sebelumnya dia derita," jelas Diah dalam diskusi terkait Coronavirus di RSUI, Depok, Jawa Barat, Selasa (4/2).

Hal itu berbanding terbalik dengan kasus flu burung H5N1 yang pernah menjadi epidemi di Indonesia sekitar tahun 2004. Menurut Diah, virus H5N1 penyebarannya tidak secepat virus 2019-nCoV, namun pasien yang terjangkit 80 persen berisiko tinggi meninggal. Artinya, angka kematian akibat virus H5N1 lebih tinggi.

Diah menjelaskan, risiko kematian akibat infeksi virus 2019-nCoV juga sangat bergantung pada imunitas, usia, dan riwayat penyakit bawaan pasien. Berbeda dengan kasus virus flu burung H5N1 yang membuat tidak hanya usia tua saja yang berisiko meninggal, namun juga usia muda.

"Waktu kasus flu burung itu yang sakit (tertular) tidak banyak. Tapi setiap yang sakit itu, mereka 80 persen berisiko tinggi meninggal. Perbandingannya juga cukup tinggi, jadi kalau ada empat pasien flu burung, tiga meninggal dan 1 tidak," jelas Diah.

Meski hingga saat ini Indonesia belum mengonfirmasi kasus virus corona jenis baru, masyarakat tetap diimbau untuk waspada dan selalu menjaga kesehatan, kebersihan dan menghindari perjalanan ke wilayah terjangkit.

Kementerian Kesehatan  menegaskan kewajiban Warga Negara Indonesia (WNI) dari Wuhan, China, menjalani protokol kesehatan dikarantina selama 14 hari. Aturan 14 hari merupakan bagian protokol kesehatan yang ditetapkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO).

"WHO menetapkan semua negara yang memulangkan warganya ke negaranya wajib menjalani protokol kesehatan yaitu dikarantina selama 14 hari," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Wiendra Waworuntu.

Awalnya, dia melanjutkan, WHO menetapkan karantina selama satu kali masa inkubasi selama 10 hari. Kendati demikian, ia menjelaskan kasus yang berkembang membuat WHO mengubah masa inkubasi menjadi 14 hari. Kemudian, dia melanjutkan, WHO menetapkan masa karantina selama satu kali masa inkubasi selama 14 hari.

"Jadi itu ditetapkan WHO, bukan kami," ujarnya.

Ia menambahkan, para WNI selama dikarantina akan menjalani pemeriksaan dua kali sehari.

Pihaknya melakukan observasi 238 WNI jika mengalami gejala panas tubuhnya maka diperiksa suhunya. Selain itu mereka juga ditanya apakah mengalami batuk hingga kelelahan.

Tak hanya itu, ia menambahkan, dokter spesialis jiwa juga didatangkan ke Natuna untuk melakukan assesment melihat bagaimana tingkat stres WNI yang baru tiba dari Wuhan. Disinggung mengenai WNI yang dikarantina selalu menggunakan masker wajah,  ia mengakui sebenarnya itu bukan aturan standar.

"Mungkin mereka mau memberikan perlindungan diri, supaya lebih aman memakai masker," ujarnya. (**H)


Sumber: REPUBLIKA.CO.ID





Berita Terkait

Tulis Komentar