Pemerintah akan Cabut Status KEK yang tidak Optimal

  • Senin, 06 Januari 2020 - 19:04:07 WIB | Di Baca : 1045 Kali

SeRiau - Pemerintah siap mencabut perizinan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang sudah diberikan ke sejumlah daerah apabila mereka tidak dapat mencapai target investasi. Sebelumnya, pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap kinerja KEK.

Beberapa KEK sudah masuk dalam radar ‘tidak optimal’ versi pemerintah. Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono memberikan contoh KEK Sei Mangkei di Sumatera Utara yang tingkat utilitasnya baru mencapai sekitar 20 persen. "Belum optimal betul," ujarnya ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (6/1).

Susiwijono mengatakan, banyak penyebab dari ketidakoptimalan suatu KEK. Di antaranya karena harga kebutuhan utama industri yang tinggi, termasuk harga gas maupun listrik.

Tapi, Susiwijono menambahkan, pemerintah tidak akan langsung mencabut status KEK tersebut. Pada tahapan awal, pemerintah mempertimbangkan kembali insentif yang sudah diberikan. "Kalau nantinya (target)  tidak tercapai lagi, akan ada pencabutan," katanya.

Setelah melakukan evaluasi, Susiwijono menuturkan, pemerintah melalui Dewan Nasional KEK juga menetapkan target ke seluruh KEK. Sebab, selama ini pemerintah tidak memberikan target kepada pengelola KEK, baik dari sisi nilai investasi ataupun tingkat penyerapan tenaga kerja.

Susiwijono menyebutkan, mekanisme evaluasi ini tertuang dalam dua regulasi KEK yang sedang dalam tahap revisi. Regulasi itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan PP Nomor 96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus.

Nantinya, pemerintah akan menuangkan peraturan yang lebih detil dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko). Diketahui, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menjabat sebagai Ketua Dewan Nasional KEK.

Tidak sekadar evaluasi dan menetapkan sanksi, Susiwijono mengatakan, pemerintah akan membantu pengelola KEK untuk mencapai target. "Kalau kendala, kami kawal. Kalau tidak tercapai target, ya sudah," ujarnya.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, apabila dicabut, akan semakin menunjukkan bahwa tidak ada perencanaan yang matang dalam pembangunan KEK sendiri.

Yusuf memberikan contoh KEK Maloy. Penggunaan lahan sering kali menjadi lama karena lahan yang digunakan di sana adalah lahan hutan, sehingga perlu mendapatkan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). "Proses pembangunannya pun terhambat," ujarnya saat dihubungi Republika.

Selain itu, ada masalah terkait dengan kapasitas pengelolaan KEK. Yusuf menyebutkan, masih ada miskoordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah, terkait tugas dan tanggung jawab.

Padahal, Yusuf menekankan, pembagian tugas dan kewenangan juga peningkatan kapasitas institusi akan sangat memiliki pengaruh terhadap keberhasilan KEK. "Baik dalam mendukung dan menarik investasi," ucapnya.

Tidak kalah penting, permasalahan implementasi insentif pajak yang diberikan terkadang menemui masalah di lapangan.

Sebenarnya, Yusuf menuturkan, ada beberapa KEK yang memiliki pekerjaan rumah sebelum dikembangkan. Misalnya KEK Tanjung Lesung yang ingin didorong sebagai KEK pariwisata. “Tapi, infrastruktur dari dan menuju kesana belum terbangun secara optimal,” ujarnya.

Sampai saat ini, pemerintah telah menetapkan 15 KEK, terdiri dari sembilan KEK Industri dan enam KEK Pariwisata. Dari 15 KEK tersebut, 11 KEK telah beroperasi atau sudah melayani investor.

Pengembangan 15 KEK tersebut telah menghasilkan realisasi investasi hingga Rp 22,2 triliun dan juga telah berkontribusi pada penciptaan lapangan pekerjaan. Terhitung, sampai akhir 2019, realisasi serapan tenaga kerja di KEK mencapai sekitar 8.686 orang. (**H)


Sumber: REPUBLIKA.CO.ID





Berita Terkait

Tulis Komentar