Dewan Pengawas KPK yang Dicurigai Diisi Orang Dekat Jokowi

  • Rabu, 11 Desember 2019 - 19:25:08 WIB | Di Baca : 1054 Kali

SeRiau - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui sudah mengantongi lima nama anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK). Meski begitu, Jokowi belum mau mengumumkan siapa saja nama yang akan menduduki posisi sebagai Dewas KPK itu.

"Sudah (final), tapi belum (diumumkan)," ujar Jokowi di Hotel Mulia Senayan, Selasa (10/12).

Rencananya, pelantikan anggota Dewan Pengawas KPK akan dilakukan bersamaan dengan pelantikan Ketua dan Wakil Ketua KPK pada 20 Desember mendatang. Seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 atau UU KPK hasil revisi, Dewan Pengawas KPK akan diisi lima orang.

Perinciannya, satu orang sebagai ketua dan empat orang anggota. Berdasarkan UU KPK yang baru, Dewan Pengawas KPK ditentukan langsung oleh Presiden Jokowi.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam( Mahfud MD, mengungkapkan, sosok yang terpilih sebagai Dewan Pengawas KPK akan mengejutkan. Menurutnya, Dewan Pengawas KPK akan diisi oleh orang-orang baik.

"Enggak (ada kriteria khusus), Presiden juga sudah tahu kriterianya, tapi nanti akan jadi kejutan bahwa dewasnya baik-baik," ungkap Mahfud di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (10/12).

Mahfud menyebutkan, banyak nama yang masuk sebagai calon Dewan Pengawas KPK. Tapi, Mahfud mengaku tidak tahu-menahu kelanjutan nama siapa saja yang terseleksi hingga saat ini. Menurutnya, kewenangan memilih Dewan Pengawas KPK ada di tangan Presiden Jokowi.

"Biar saja Presiden kewenangan penuh sesuai undang-undang untuk pertama kali dewas itu diangkat oleh Presiden, hak prerogatif. Nanti untuk berikutnya mungkin pakai pansel," tuturnya.

Perlukah Dewan Pengawas KPK?

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum (FH) Universitas Gajah Mada (UGM) Zaenur Rohman memprediksi Dewan Pengawas KPK akan diisi oleh orang-orang dekat Jokowi.

"Sudah tentu yang akan dipilih adalah orang yang dipercaya Presiden, atau dalam bahasa lainnya Dewas akan diisi orangnya Presiden," kata Zaenur Rohman pada Republika, Rabu (11/12).

Anggota Dewan Pengawas KPK pilihan Jokowi nantinya akan mengawasi kinerja pimpinan KPK yang diketuai Firli Bahuri. Zaenur menilai, Dewan Pengawas KPK hanya sebagai alat Presiden dan pemerintah untuk mengendalikan lembaga antirasuah di Indonesia itu.

"Ini bisa menjadi pintu masuk bagi pemerintah mengendalikan KPK," ujar dia.

Zaenur menegaskan, Pukat UGM sejak awal menolak ide pembentukan Dewan Pengawas KPK. Sehingga, Pukat UGM pun tak mau memberikan kriteria khusus orang-orang yang cocok untuk duduk di Dewan Pengawas KPK.

"Jadi Pukat tidak bicara kriteria yang cocok untuk mengisi Dewas," ujarnya.

Menurut Zaenur, adanya Dewan Pengawas KPK justru menghambat pemberantasan korupsi. Dewan Pengawas KPK yang seharusnya bertugas sebagai pengawas, bukan hanya bertugas mengawasi, namun juga memiliki wewenang memberikan atau menolak izin dalam proses penegakkan hukum (projustitia), yaitu izin penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan.

"Sedangkan Dewas KPK sendiri bukan penegak hukum," ujarnya.

Sama seperti Pukat UGM, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menolak konsep Dewan Pengawas KPK. ICW tidak tertarik siapa pun sosok yang akan mengisi Dewan Pengawas KPK.

“ICW pada dasarnya menolak keseluruhan konsep dari Dewan Pengawas KPK,” tegas anggota Badan Pekerja ICW, Kurnia Ramadhana kepada Republika dalam pesan tertulis, Rabu (11/12).

Kurnia menjelaskan, paling tidak ada tiga alasan ICW menolak keberadaan Dewan Pengawas KPK. Pertama, kata dia, secara teoritik KPK masuk dalam rumpun lembaga negara independen yang tidak mengenal konsep lembaga Dewan Pengawas. Karena, lanjut Kurnia, yang terpenting dalam lembaga negara independen adalah membangun sistem pengawasan dan hal tersebut telah dilakukan oleh KPK.

“Hal itu sudah dilakukan KPK dengan adanya Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat. Bahkan, kedeputian tersebut pernah menjatuhkan sanksi etik pada dua pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang,” kata Kurnia.

Lagi pun sambungnya, dalam UU KPK yang lama telah ditegaskan bahwa KPK diawasi oleh beberapa lembaga, seperti BPK, DPR, dan Presiden. “Lalu pengawasan apa lagi yang diinginkan oleh negara?” ujarnya.

Kedua, menurut Kurnia, kewenangan Dewan Pengawas pun dianggap sangat berlebihan. KPK harus meminta izin dewan pengawas untuk melakukan tindakan pro-justicia.

“Bagaimana mungkin tindakan pro-justicia yang dilakukan oleh KPK harus meminta izin dari Dewan Pengawas? Sementara disaat yang sama justru kewenangan Pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut justru dicabut oleh pembentuk UU,” jelas Kurnia.

Ketiga, Kurnia curiga kehadiran Dewan Pengawas justru dikhawatirkan sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap proses hukum yang akan dilakukan KPK. Pasalnya, Dewan Pengawas dalam UU KPK yang baru ini, dipilih oleh Presiden.

“Jadi, siapa pun yang dipilih oleh Presiden untuk menjadi Dewan Pengawas tidak akan mengubah keadaan, karena sejatinya per tanggal 17 Oktober 2019 kemarin waktu berlakunya UU KPK baru, kelembagaan KPK sudah mati suri,” tegas Kurnia lagi. (**H)


Sumber: REPUBLIKA.CO.ID





Berita Terkait

Tulis Komentar