Mahfud MD Tantang Komnas HAM Ungkap Pelanggaran HAM Masa Lalu

  • Selasa, 19 November 2019 - 21:10:50 WIB | Di Baca : 1340 Kali

SeRiau - Menkopolhukam, Mahfud MD, menantang Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) membongkar kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Mahfud meminta Komnas HAM menyertakan bukti untuk mendukung desakan mereka. 

"Saya kira Komnas HAM cukup dewasa untuk tahu, kalau memang bisa, ayo, saya yang bawa ke pengadilan, tapi kalau memang tidak ada bukti, ya, nyatakan," ujar Mahfud saat ditemui di kantornya, Selasa (19/11).

"Ya, itu yang akan diselesaikan kalau Komnas HAM punya bukti, 'kan selalu begitu," sambungnya.

Mahfud menilai jalur non-yudisial adalah cara yang paling masuk akal untuk menangani pelanggaran HAM di masa lalu. Mengingat, minimnya bukti yang dapat diperoleh. 

"[Pelanggaran HAM] sebenarnya hanya selalu menjadi komoditas politik yang yang harus disesuaikan, dan salah satu cara penyelesaiannya itu adalah, ya, kita menyelesaikan secara non-yudisial, karena korbannya sudah tidak ada, pelakunya tidak ada, buktinya juga tidak ada," kata Mahfud.

Dalam kesempatan itu, Mahfud juga mengklarifikasi isu dugaan adanya pelanggaran HAM di Papua. Mahfud menegaskan, kejadian di Papua adalah bentuk gerakan berbeda. 

"Jadi bukan pelanggaran HAM, yang saya katakan pelanggaran HAM di Papua itu terjadi secara horizontal, horizontal itu antarkelompok dengan kelompok lainnya, di tingkat rakyat sendiri, itu tidak bisa dibantah," ungkap Mahfud.

Sebagai catatan, hingga kini, sederet kasus penyelesaian HAM di masa lalu masih belum menemukan titik terang. Sejumlah kasus itu di antaranya tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi 2, kasus Talangsari, kasus penghilangan orang secara paksa, penembakan misterius, pembantaian massal usai Gerakan 30 September 1965, hingga kerusuhan Mei 1998.

Penanganan kasus yang berlarut ini membuat Komnas HAM memberikan rapor merah untuk pemerintahan Jokowi. Hal itu terlihat dari mandeknya berkas yang diberikan Komnas HAM kepada Jaksa Agung sejak 2002 --tak kunjung diproses ke penyidikan ataupun penuntutan.

"Ketidakjelasan atas penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat adalah bentuk dari pengingkaran atas keadilan," kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (19/10).

"Kalau dari segi kewenangan sudah jelas, pemerintah, khusunya Jaksa Agung yang punya kewenangan menindaklanjuti berkas dari Komnas HAM. Lakukanlah kewenangannya itu, jangan diam, jangan inactive," tambah Komisioner Komnas HAM, Munafrizal Manan, dalam kesempatan terpisah. 

Wacana Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Juru Bicara Istana Kepresidenan, Fadjroel Rachman, sebelumnya mengungkap akan ada wacana mengaktifkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Wacana itu muncul usai pertemuan dengan Mahfud MD di Istana, beberapa waktu lalu. 

"Dari perbincangan dengan usulan dari Menkopolhukam, Pak Mahfud MD, sebenarnya beliau menyarankan lagi untuk dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)," kata Fadjroel di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (13/11).

"Arahnya KKR, Komisi Kebenaran Rekonsiliasi. Nanti kita lihat, karena di MK yang dicabut itu, ada satu pasal khusus, apabila pelaku mengakui perbuatannya. Maka dia dapat memperoleh pengampunan. Itu menjadi perdebatan," ujarnya.

Pembentukan komisi ini sebelumnya sudah digagas dalam UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. KKR dibentuk sebagai lembaga independen untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM berat dengan melaksanakan rekonsiliasi.

Namun, pada 2006, MK mencabut UU tersebut dengan alasan UU itu tak memiliki hukum yang mengikat dan menentang konstitusi. (**H)


Sumber: kumparan.com





Berita Terkait

Tulis Komentar