Efek Jika Jokowi Tak Terbitkan Perppu KPK Menurut ICW

  • Senin, 07 Oktober 2019 - 10:40:30 WIB | Di Baca : 1079 Kali

 

SeRiau - Desakan agar Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengemuka. Ada sejumlah hal yang dinilai akan terjadi bila Jokowi mengabaikan penerbitan Perppu KPK.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menjelaskan, jika Jokowi tidak menentukan sikap untuk mengeluarkan perppu, maka penindakan kasus korupsi akan melambat. Menurut dia, pimpinan KPK nantinya tidak lagi jadi penegak hukum.

"Terkait penindakan kasus korupsi yang akan melambat di saat UU KPK disahkan dan perppu tidak juga dikeluarkan. Kenapa? Karena dalam UU KPK persoalan pro judicial terkesan sangat birokratis. Pimpinan KPK tidak lagi jadi penegak hukum," kata Kurnia di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Minggu 6 Oktober 2019. 

Tidak hanya itu, Kurnia menjelaskan KPK nantinya tidak akan jadi institusi utama dari pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal tersebut kata dia terlihat pada pasal 3 UU KPK yang baru.

"Kedudukan KPK, kepolisian, dan kejaksaan dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi jadi sama. Padahal mandat dari UU KPK awalnya KPK ditetapkan sebagai leading sektor untuk pemberantasan korupsi," ungkap Kunia.

Citra pemerintah, kata dia, juga akan buruk. Sebab di era Jokowi-JK, tidak pro dengan pemberantasan korupsi. Seharusnya menurut dia, pemerintahan Jokowi-JK memberikan citra yang baik.

"Meninggalkan jejak yang baik, dengan revisi UU KPK dengan cara menerbitkan perppu," ungkap Kurnia.

Kurnia juga menilai jika Jokowi tidak mengeluarkan perppu, maka mantan Wali Kota Solo tersebut ingkar terhadap nawacita 2014, yaitu memberantas korupsi.

"Indeks persepsi korupsi di Indonesia kalau tidak dikeluarkan perppu, kita yakini akan stagnan. Atau mungkin turun dan apa yang terjadi. Efeknya citra pemerintah di mata internasional semakin menurun dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi," kata Kurnia.

Kurnia juga mengusulkan agar penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) yang disematkan pada 2010 silam dicabut.

"Karena tidak terlihat lagi sosok anti korupsi pada diri Presiden Jokowi. Karena tidak menyelamatkan KPK di akhir pemerintahan Jokowi-JK, menaruh harapan yang bersangkutan untuk memimpin 5 tahun ke depan," kata Kurnia.

Dia juga mengatakan, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menghianati amanah rakyat yang telah memilihnya pada Pilpres 2019 lalu. Dia menjelaskan ada 85 juta yang memilih Jokowi. Dan saat itu, kata dia, Jokowi sudah berjanji menguatkan KPK.

Dengan sikap Jokowi saat ini menurut dia, kepercayaan publik akan berkurang. Bahkan, belum masuk dalam jajaran pemerintahan yang baru, janji tersebut tidak terealisasikan.

"Kalau akhir pemerintah Jokowi-JK sudah tidak mengutkan KPK bagaimana mungkin kita bisa percaya dengan janji yang diucapkan sampai tahun 2024 nanti," kata Kurnia.


Jokowi Tinjau Setiap Masukan

Sampai kini belum ada keputusan dari Jokowi apakah akan mengeluarkan perppu atau tidak. Beberapa waktu lalu, Jokowi menyampaikan tengah mempertimbangkan untuk mengeluarkan Perppu setelah menerima sejumlah tokoh di Istana Negara.

Pakar hukum dari Kantor Staf Kepresidenan Kedeputian V, Ifdhal Kasim menyampaikan saat ini Jokowi belum mengeluarkan konklusi atau keputusan terkait Perppu KPK ini.

Presiden, kata dia, masih meninjau argumen dari setiap tokoh maupun pimpinan parpol koalisi terkait Perppu ini.
"Saat itu presiden mengatakan akan mempertimbangkan seluruh masukan cendekiawan dan budayawan yang hadir saat itu sebagai usaha menambah pemahaman dan masukan apakah perlu keluarkan Perppu," jelas Ifdhal dalam diskusi Populi Center di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (5/10).

Setelah bertemu para tokoh dan cendekiawan, presiden kemudian bertemu pimpinan partai koalisi untuk mendengarkan pandangan mereka terkait perppu ini. Saat itu partai koalisi mendorong presiden tidak mengeluarkan perppu karena UU baru disahkan.

"Sekarang Presiden sedang meninjau argumen yang ada sehingga beliau apakah akan memutuskan akan keluarkan perppu. Sampai saat ini belum ada konklusi," terang Ifdhal.

Dari seluruh masukan yang diterima dari para tokoh, Ifdhal mengatakan ada yang benar secara akademik dan juga ada yang salah. Ada juga masukan dengan argumentasi yang cukup kuat.

Perppu, lanjutnya, merupakan kewenangan presiden sepenuhnya. Salah satu ketentuan dalam mengeluarkan Perppu adalah ada kegentingan yang memaksa.

Ifdhal menerangkan, ketentuan kegentingan ini diinterpretasikan dari dua keputusan MK. Perppu bisa dikeluarkan saat terjadi kekosongan hukum dan ada hukum tidak begitu baik dan harus diganti.

"Kita (staf presiden) memberikan pendapat dari seluruh masukan yang ada. Apakah kewenangan konstitusional yang dimiliki Presiden digunakan atau tidak dalam situasi kegentingan yang disebut memaksa tadi," jelasnya.

 

 

 

 

 

Sumber Liputan6.com





Berita Terkait

Tulis Komentar