Polisi Intimidasi dan Pukuli Jurnalis Saat Liput Aksi di DPR

  • Rabu, 25 September 2019 - 23:08:03 WIB | Di Baca : 1189 Kali

SeRiau - Empat orang jurnalis menjadi korban kekerasan aparat kepolisian saat meliput demonstrasi mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/9). Mereka dipukuli, ditendangi, serta diintimidasi polisi hingga mengalami luka-luka dan trauma.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat sedikitnya ada empat jurnalis yang menjadi korban kekerasan polisi. Tindakan represif aparat terjadi ketika wartawan merekam aksi kekerasan polisi terhadap massa aksi.

Salah satu korban yaitu jurnalis IDN Times, Vanny El Rahman. Dia dipukul dan diminta menghapus foto dan video rekamannya terkait kekerasan yang dilakukan polisi terhadap demonstran di sekitar flyover Slipi, Jakarta.

Korban lainnya, jurnalis Katadata Tri Kurnia Yunianto. Tri dikeroyok, dipukul dan ditendangi oleh aparat dari kesatuan Brimob Polri.

Kurnia telah mengaku sebagai wartawan dan menunjukkan ID Pers yang menggantung di leher. Dia menjelaskan saat itu sedang melakukan liputan. Namun pelaku kekerasan tidak menghiraukan dan tetap melakukan penganiayaan.

Selain itu, polisi juga merampas ponsel Kurnia dan menghapus video yang terakhir kali direkam. Video itu memuat rekaman polisi saat membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata.

Korban ketiga, yaitu jurnalis Kompascom, Nibras Nada Nailufar. Ia mengalami intimidasi saat merekam perilaku polisi yang melakukan kekerasan terhadap seorang warga di kawasan Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Selasa malam.

Dalam peristiwa ini, polisi melarang korban merekam gambar dan memaksanya menghapus rekaman video kekerasan. Nibras bahkan nyaris dipukul oleh seorang polisi.

Kekerasan juga dialami jurnalis Metro TV, Febrian Ahmad oleh massa yang tidak diketahui asalnya. Mobil yang ditumpangi Febrian saat meliput wilayah Senayan dipukuli dan dirusak massa hingga semua kaca mobil Metro TV pecah.

Atas peristiwa ini, AJI Jakarta mengutuk keras segala bentuk kekerasan yang dilakukan kepada jurnalis. Baik yang dilakukan aparat kepolisian maupun massa.

Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani menilai kekerasan yang dilakukan polisi maupun massa merupakan tindakan pidana sebagaimana diatur UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Dalam Pasal 18 Ayat 1 disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta.

Dalam bekerja, jurnalis memiliki hak untuk mencari, menerima, mengelola, dan menyampaikan informasi sebagaimana dijamin secara tegas dalam Pasal 4 ayat (3).

"Kami mendesak Kepolisian menangkap pelaku kekerasan terhadap jurnalis saat meliput, baik yang melibatkan anggotanya dan sekelompok warga, apalagi kekerasan yang dilakukan anggota Polri tersebut terekam jelas dalam video-video yang dimiliki jurnalis," kata Asnil melalui keterangan tertulis.

Dia menegaskan, semua pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus diproses hukum untuk diadili hingga ke pengadilan.

Selain itu, pihaknya juga mengimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan terhadap jurnalis saat liputan, sebab jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi UU Pers.

Hingga kini, AJI Jakarta terus melakukan verifikasi kekerasan yang dialami sejumlah jurnalis saat meliput aksi mahasiswa. Tak menutup kemungkinan masih ada jurnalis lain mengalami kekerasan saat liputan.

"Kami mengimbau perusahaan media mengutamakan keamanan dan keselamatan jurnalisnya saat meliput aksi massa yang berpotensi ricuh, serta aktif membela wartawannya termasuk melaporkan kasus kekerasannya ke kepolisian," ujarnya.

AJI juga mendesak Dewan Pers terlibat aktif menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi sepanjang aksi tanggal 24 September, maupun kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi pada waktu sebelumnya.

Puluhan ribu mahasiswa dan aliansi masyarakat sipil menggelar aksi demonstrasi di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa 24 September 2019.

Mereka menuntut pemerintah dan DPR mencabut pasal-pasal bermasalah di RKUHP dan menolak pelemahan KPK, serta membatalkan RUU bermasalah lainnya seperti RUU Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan. Aksi yang dilakukan mahasiswa di depan Gedung DPR tersebut kemudian berujung ricuh. (**H)


Sumber: CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar