"Indonesia Kembali ke Era Pra-Reformasi jika Pasal Penghinaan Presiden Disahkan"

  • Kamis, 19 September 2019 - 06:13:36 WIB | Di Baca : 1072 Kali

SeRiau - Pakar hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti mengatakan, menjadi sebuah kemunduran demokrasi jika DPR dan pemerintah benar-benar memasukan pasal penghinaan presiden dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( RKUHP).

Menurut Bivitri, Indonesia justru kembali pada era sebelum reformasi jika aturan itu disahkan.

"Dari segi demokrasi dan negara hukum, ini yang menurut saya kita sudah mundur ke tahun 98-99," kata Bivitri dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (18/9/2019).

Bivitri menyebut, pasal penghinaan presiden ini sangat perlu ditinjau ulang. Pasalnya, aturan serupa juga pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006.

Menurut Bivitri, dengan kembali memasukan aturan ini ke RKUHP, DPR tidak betul-betul memahami tentang sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Ada anggota DPR yang enggak tahu bahwa (aturan penghinaan terhadap Presiden) ini sudah dibatalkan oleh MK," ujarnya.

Jika kelak RKUHP ini telah disahkan dan resmi menjadi undang-undang, menurut Bivitri, pasal penghinaan presiden harus diujimaterikan ke MK.

"Siapa pun nanti yang disepakati jadi pemohon harus mengajukan (uji materi) itu untuk mengingatkan, 'itu loh, (aturan penghinaan terhadap Presiden) ini sama MK sudah diluruskan kok dimasukkan lagi'. Saya kira MK selama ini kecenderungannya akan memperhatikan," kata dia.

DPR dan pemerintah telah merampungkan seluruh substansi revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Berdasarkan draf RUU KUHP hasil rapat internal pemerintah 25 Juni 2019, Pasal 224 menyatakan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (**H)


Sumber: KOMPAS.com





Berita Terkait

Tulis Komentar