Khawatir Korupsi Membudaya, Antropolog Untuk Indonesia Tolak Revisi UU KPK

  • Senin, 09 September 2019 - 12:47:44 WIB | Di Baca : 1013 Kali

SeRiau - Sejumlah antropolog yang tergabung dalam Antropolog Untuk Indonesia menyampaikan penolakan terhadap rencana DPR merevisi UU KPK yang dianggap bisa melemahkan lembaga antirasuah itu. Para antropolog ini mengaku tak ingin korupsi membudaya di Indonesia.

"Kami antropolog Indonesia, tidak menginginkan korupsi membudaya di negeri ini melalui pembiaran dan pembenaran baik secara tidak langsung maupun secara sistematis," ujar para antropolog dalam keterangan tertulis, Senin (9/9/2019).

Para antropolog yang ikut dalam pernyataan ini antara lain PM Laksono dari UGM, Yando Zakaria dari UI, Yudi Febrianda dari Unpad, Damairia Pakpahan dari UGM, serta Fajri Rahman dari Universitas Andalas (Unand). Mereka menilai KPK sebagai model sukses lembaga pemberantasan korupsi di dunia yang harusnya diperkuat.

"KPK adalah model sukses di dunia, sekaligus anak kandung reformasi yang mestinya dijaga dan diperkuat," tutur mereka.

Darurat antikorupsi juga disebut tergambar dari polemik seleksi calon pimpinan (Capim) KPK. Menurut mereka dugaan konflik kepentingan terkait seleksi capim ini bertentangan dengan amanah reformasi.

"Tidak cukup dari sisi legislasi, darurat anti-korupsi tergambar dalam polemik seleksi capim KPK yang diduga syarat konflik kepentingan, jelas bertentangan dengan amanah reformasi dan tujuan bernegara sebagaimana amanat Undang-undang Dasar Negara RI 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan menuju kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," sebut para antropolog tersebut.

Para antropolog ini berharap Indonesia belajar dari kekeliruan di masa lalu. Para pejabat mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif diminta lebih peka dan menjunjung tinggi nilai integritas.

Mereka juga menyatakan DPR sebagai wakil rakyat harusnya memperjuangkan kemaslahatan publik. DPR diminta tidak menjadi motor kehancuran hukum.

"Wakil rakyat harus menjadi representasi yang memperjuangkan kemaslahatan publik bukan malah menjadi motor kehancuran sendi-sendi hukum dan demokrasi yang sedang tumbuh dan berjalan membaik," ucap mereka.

Untuk itu, para antropolog ini meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjamin dan melindungi warga dengan memperkuat gerakan antikorupsi. Mereka khawatir jika terjadi pembiaran terhadap korupsi, maka moral dan kehidupan bangsa akan rusak.

"Pembiaran dan pembenaran Korupsi melalui berbagai cara akan menjadikan nilai korupsi yang tadinya adalah negatif atau tidak normal menjadi positif tidak normal atau wajar. Jika ini sampai terjadi jelas akan merusak moral dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari berbagai kampus, kami antropolog Indonesia menolak segala bentuk pelemahan terhadap KPK sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi," tutur mereka.

Rencana revisi UU KPK ini sebelumnya telah disepakati seluruh fraksi di DPR dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Utut Adianto, Kamis (5/9). Kesepakatan DPR itu langsung dikritik berbagai pihak karena menilai isi draf revisi UU KPK berpotensi melemahkan lembaga KPK.

Salah satunya dari Ketua KPK Agus Rahardjo yang menyebut setidaknya ada sembilan poin draf revisi yang bakal melumpuhkan kerja KPK. Berikut poin-poinya:

1. Independensi KPK terancam
2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi
3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR
4. Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi
5. Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung
6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria
7. Kewenangan Pengambilalihan perkara di Penuntutan dipangkas
8. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses Penuntutan dihilangkan
9. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. (**H)


Sumber: detikNews





Berita Terkait

Tulis Komentar