Abraham Samad: Siapa Otak-atik UU KPK akan Berhadapan dengan Rakyat!

  • Jumat, 06 September 2019 - 12:30:23 WIB | Di Baca : 1034 Kali

SeRiau - Mantan pimpinan KPK turun gunung merespons usulan DPR merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Salah satunya yaitu Abraham Samad yang dengan keras menyebut revisi itu akan membuat KPK mati suri.

"Tidak ada kepentingan hukum yang mendesak untuk merevisi Undang-Undang KPK selain kepentingan politik. DPR perlu diingatkan bahwa ada banyak tunggakan rancangan undang-undang lain yang lebih penting untuk dibahas, ketimbang mengutak-atik Undang-Undang KPK dan akan berhadapan dengan masyarakat," kata Samad kepada wartawan, Jumat (6/9/2019).

"Jelas akan membuat KPK mati suri," imbuh Samad.

Samad setidaknya menyebutkan 4 hal dalam draf revisi UU KPK yang akan membuat KPK mati suri. Apa saja?

Pertama, Samad menyebut revisi UU itu akan membuat KPK sebagai kepanjangan tangan dari kekuasaan eksekutif. Dengan status itu, Samad menyebut KPK bisa kehilangan independensi.

"Ketika KPK berada di bawah eksekutif, maka KPK akan bekerja mengikuti program-program eksekutif, seperti kementerian atau badan lain yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Pada situasi ini KPK akan mengalami konflik kepentingan dengan agenda pemerintah yang rentan praktik tipikor," ujar Samad.

Kedua, urusan penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas disebut Samad akan melumpuhkan sistem kolektif kolegial pimpinan KPK. Sebelum penyadapan dilakukan, izin dari meja ke meja disebut Samad akan berisiko bocor.

"Sebelum dilakukan penyadapan, izinnya harus melewati banyak meja; kasatgas, direktur penyidikan, deputi penindakan, kemudian meja lima Pimpinan. Jadi sistem kolektif kolegial kelima Pimpinan KPK adalah bagian dari sistem pengawasan itu. Sangat tidak perlu melibatkan badan lain yang akan memperpanjang alur penyadapan dengan risiko bisa bocor sebelum dijalankan," ucapnya.

Ketiga, Samad menyebut adanya Dewan Pengawas KPK yang tidak ada urgensinya. Selama ini Samad menyebut KPK sudah memiliki sistem deteksi dan prosedur penindakan internal.

"Siapa yang bisa menjamin jika Dewan Pengawas nantinya bebas kepentingan? KPK sudah memiliki sistem deteksi dan prosedur penindakan internal jika ada Pimpinan atau pegawai yang menyalahgunakan wewenang. Ada Pengawas Internal (PI) yang menerapkan standar SOP 'zero tolerance' kepada semua terperiksa, tidak terkecuali Pimpinan. Sistem kolektif kolegial lima Pimpinan KPK juga adalah bagian dari saling mengawasi. Ditambah, jika ada pelanggaran berat yang dilakukan Pimpinan, bisa dibentuk majelis kode etik untuk memprosesnya," kata Samad.

Keempat, Samad menyoroti tentang penghentian penyidikan dan penuntutan yang tidak selesai paling lama 1 tahun. Hal itu disebut KPK membuat KPK sama dengan kejaksaan atau kepolisian.

"Ini sama dengan wewenang yang dimiliki Kejaksaan dan Kepolisian, wewenang yang sering disorot masyarakat sipil. Lagi pula, selama ini KPK selalu berhasil mempertahankan pembuktiannya di setiap sidang tipikor meski tanpa kewenangan SP3 itu. Karena proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan di KPK terhubung 'satu atap' dalam satu kedeputian, Kedeputian Penindakan. Jadi, KPK jangan disuruh berkompromi dengan kasus tipikor yang disidiknya dengan memberikan wewenang menerbitkan SP3," sebut Samad. (**H)


Sumber: detikNews





Berita Terkait

Tulis Komentar