Makna Pertemuan Sri Sultan HB X dengan Jokowi dan Prabowo

  • Sabtu, 13 April 2019 - 20:12:04 WIB | Di Baca : 1198 Kali

SeRiau - Nama besar dan pengaruh Sri Sultan Hamengku Buwono X tampak disadari betul oleh dua pasangan calon (Paslon) 01 dan 02 dalam kancah Pilpres 2019 ini. Keduanya sama-sama sibuk berusaha mendapat dukungan dari Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut. 

Tanggal 23 Maret lalu, Jokowi telah sowan ke Ngarsa Dalem. Dia diterima di Gedung Jene pada malam hari. Jokowi yang siang harinya menghadiri Alumni Jogja SATUkan Indonesia di Stadion Kridosono datang ditemani Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Tak ada keterangan kepada media dari Jokowi malam itu. 

Kemudian 8 April giliran Prabowo yang sowan ke Sri Sultan. Berbeda dengan Jokowi, Prabowo hadir pada siang hari sebelum menghadiri kampanye akbar di Stadion Kridosono. Tempatnya pun berbeda, Prabowo bertemu dengan Sultan di Kompleks Kepatihan Pemda DIY. 

Usai pertemuan hampir satu jam, Prabowo keluar dan sempat melambaikan tangan kepada awak media. Yang mengejutkan, Prabowo menghampiri wartawan dan menyampaikan pernyataan. 

“Pembicaraannya bagus kita (Sultan dan Prabowo) berbicara hal-hal mendasar. Beliau sangat konsen pada NKRI, Bhineka Tunggal Ika, kemandirian bangsa, dan sebagainya,” ujar Prabowo.

Lalu seberapa besar magnet Sri Sultan dalam mendulang suara, hingga dua kubu paslon sibuk mencari perhatian? Prof Purwo Santoso, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) menjawab dengan singkat dan padat. 

“Sangat besar (pengaruh Sri Sultan). Ukurannya sederhana wong istrinya (GKR Hemas) saja ketika nyalon DPD itu sudah mengumpulkan 50 persen lebih suara. Kan sudah tiga atau empat kali itu selalu di atas 50 persen suaranya. Itu lagi bojone (istrinya), jadi di Jogja masih sangat dihormati,” ujarnya Sabtu (12/4). 

Hal itulah yang membuat beberapa orang berniatan memanfaatkan citra diri Sri Sultan. Meski begitu Sri Sultan merupakan sosok yang sangat berhati-hati. Dia selalu menjaga untuk tidak membuat artikulasi atau ekspresi yang eksplisit. Misal dukung 01 atau 02. 

“Setahu saya beliau (Sri Sultan) selalu menjaga untuk tidak membikin artikulasi atau ekspresi yang eksplisit seperti dukung nomor 01 atau nomor 02 nggak pernah,” kata dia. 

Lalu yang terjadi di media sosial kini, para pendukung saling memperdebatkan tempat pertemuan kedua paslon dengan Sri Sultan. Para pendukung saling mengklaim bahwa calonnya lah yang mendapat dukungan dari orang nomor satu di DIY itu. Seperti disampaikan tadi, Jokowi ditemui di Gedung Jene, Prabowo di Kompleks Kepatihan Pemda DIY. 

Purwo mengatakan mengatakan bahwa simbol-simbol itu dimaknai subyektif oleh masyarakat. “Opini orang tentang itu bukan benar atau tidaknya benda itu. Kaidah objektivitas tidak berlaku karena bukan obyek benda itu yang menjadi penentu tapi subjektivitas bersama sesama pemakna sesama penafsir,” katanya. 

“Masing-masing (paslon) ingin memanfaatkan magnet kekuasaan Ngarsa Dalem maka kemudian cari hal-hal yang bisa memaknai atau menginterpretasikan itu sehingga justifikasi dari rangkaian event, nama ruangan itu lah yang diceritakan,” katanya. 

Sikap Sri Sultan HB X menurutnya sama dengan sikap yang dilakukan Sri Sultan HB IX di masa orde baru. Pesan yang dibuat sengaja dikaburkan sehingga tidak pernah HB IX dikatakan mengkhianati Golkar tapi juga tidak pernah dikatakan secara hukum menjadi kaki tangannya Golkar. 

“Saya membayangkan Sri Sultan HB X pun juga berhadapan dengan situasi seperti itu. Ketika dia terdesak atau berada dalam posisi yang diperebutkan dua kubu, nah dia harus bisa melayani dua kubu sesuai dengan pemaknaan orang kebanyakan,” katanya. 

Sementara itu, Pengamat politik dan pemerintahan dari UGM, Mada Sukmajati mengatakan beda tempat pertemuan Sri Sultan dengan Jokowi dan Prabowo bukan hal yang patut dilebih-lebihkan dan cenderung wajar. 

“Ya saya kira itu sangat terkait Jokowi yang selain peserta pemilu capres dalam hal ini beliau juga presiden ya wajar perbedaan perlakuan itu. Kita tidak bisa terus menerima presiden kok di teras,” katanya. 

Menariknya, Mada mengatakan untuk mendulang suara di DIY tak melulu dengan dukungan dari Sri Sultan. Menurutnya Sri Sultan masih menjadi referensi utama bagi kelompok usia tua dan kelompok kuat kultur budaya. Namun untuk kalangan muda, seiring dengan perkembangan teknologi banyak hal yang bisa dijadikan referensi. 

“Kalau sekarang ada perkembangan medsos dan yang diperebutkan adalah kelompok milenial yang mungkin tidak terlalu menjadikan kultur itu sebagai referensi utama dalam menentukan pilihannya,” kata dia. 

Soal sikap Sri Sultan, Mada mengatakan sudah tepat. Dia berharap Sri Sultan tetap bisa menjaga netralitas dan integritasnya. Sosok-sosok seperti Sri Sultan ini sudah langka ditemui di era sekarang. 

“Sikap Sultan sejauh ini sudah pas tidak tergesa-gesa menyatakan dukungannya dan masih bisa menjaga keseimbangan tersebut. Kita masih punya sumber yang kita harapkan bagaimanapun juga orang-orang seperti ini yang bisa menjaga netralitas integritas, semakin lama semakin jarang,” kata dia. (**H)


Sumber: kumparanNEWS





Berita Terkait

Tulis Komentar