Bawaslu Tak Tutup Kemungkinan Panggil Politikus yang Ikut Munajat 212

  • Sabtu, 23 Februari 2019 - 15:03:27 WIB | Di Baca : 1025 Kali

SeRiau - Bawaslu masih menelusuri dugaan pelanggaran kampanye yang dilakukan oleh sejumlah politikus yang hadir dalam acara Munajat 212. Anggota Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan pihaknya masih berkordinasi dengan Bawaslu DKI Jakarta terkait hal tersebut. 

"Kita tunggu saja kajian teman-teman DKI untuk kemudian kami beritakan ke semua. Sejauh ini kan ada kalimat-kalimat seperti itu, ada juga doa-doa, ya jangan kemudian saya buat kesimpulan sendiri, itu bahaya," kata dia usai diskusi di d'consulate resto dan longe, Jakarta Pusat, Sabtu (23/2). 

Bawaslu tidak menutup kemungkinan akan memanggil sejumlah politikus yang diduga melakukan pelanggaran dalam rangka klarifikasi, termasuk salah satunya Waketum Partai Gerindra Fadli Zon. Pemanggilan itu akan dilakukan oleh Bawaslu DKI Jakarta. 

"Kalau kemudian Bawaslu DKI memerlukan datanya, memerlukan buat kemudian apakah yang bersangkutan diindikasikan melanggar, maka mau tak mau harus diklarifikasi. Jangan sampai kita tidak mendengarkan keterangan dari yang bersangkutan," jelasnya. 

Rahmat menegaskan penelusuran adanya dugaan pelanggaran kampanye itu bukan berdasarkan laporan masyarakat, melainkan hasil temuan awal dari Bawaslu DKI Jakarta. "Berdasarkan hasil temuan, hasil pengawasan Bawaslu," ujarnya.

Tak cuma kepada para politikus, Rahmat berharap jelang Pemilu 2019, para penyelenggara negara tidak melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kontroversi di masyarakat.

"Seperti kemarin kan Pak Rudiantara (Menkominfo) tak terbukti (melakukan pelanggaran), tapi kami selalu mengingatkan kepada teman-teman menteri agar tidak membuat mispersepsi terhadap publik," kata Rahmat.

Sementara terkait dengan potensi penambahan surat suara cadangan, Rahmat mengatakan, hal itu harus terus diupayakan oleh KPU sebagai antisipasi untuk mengurangi pemilih golput dalam Pilpres dan Pileg. 

Bawaslu menyebut kemungkinan yang paling bisa dilakukan saat ini untuk mengatasi hal tersebut ialah membuat peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) oleh Presiden Jokowi. Opsi tersebut menjadi pilihan ketimbang melakukan revisi UU Pemilu dan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang memakan waktu lama.

"Kalau paling cepat Perppu. Apakah dilarang Presiden? Enggaklah. Presiden itu Kepala Negara, punya kewajiban dan teliti hati-hati dalam memandang negara ini," katanya. (**H)


Sumber: kumparanNEWS





Berita Terkait

Tulis Komentar