2.991 Orang Gangguan Jiwa di Aceh Masuk DPT Pemilu 2019

  • Senin, 14 Januari 2019 - 23:47:14 WIB | Di Baca : 1138 Kali

SeRiau - 2.991 orang tuna grahita yang lebih dikenal dengan gangguan jiwa mendapat hak pilih pada Pemilu 2019. Jumlah tersebut dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) Aceh 3.523.774, terdiri 1,789.100 perempuan 1.734.674 laki-laki.

Ketua Divisi Teknis Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Munawar Syah menjelaskan, DPT dari tuna grahita ini yang bakal ikut memilih pada Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), bukan mereka yang berkeliaran di jalan-jalan.

"Mereka yang kita data itu, yang ada dalam Kartu Keluarga (KK), tetapi ada keterangan memang sedang ada gangguan jiwa," kata Munawar Syah di Banda Aceh, Senin (14/1).

Kendati demikian, bagaimana pelaksanaannya harus menunggu Petunjuk Teknis (Juknis) yang akan dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sedangkan data yang masuk dalam DPT itu berdasarkan keterangan dari pihak keluarga yang dibuktikan dengan surat dokter.

"Belum ada Juknis terkait dengan tuna grahita itu," tukasnya.

Total pemilih berkebutuhan khusus di Aceh sebanyak 11.601, yang tersebar di 15.610 Tempat Pemungutan Suara (TPS). Yaitu tuna grahita 2.991 orang, tuna daksa 3.212 orang, tuna runguwicara 1.965, tuna netra 1.536 dan disabilitas lainnya 1.897.

Tuna grahita berdasarkan keterangan ahli terbagi tiga. Pasien gangguan jiwa yang paling parah disebut dengan psikotik. Gangguan level satu ini biasanya sering beralusisasi, mendengar suara-suara atau bisikan aneh.

"Pasien psikotik ini juga bisa mengganggu orang lain, hingga dibutuhkan perawatan khusus, ruangan khusus di rumah sakit jiwa," kata Kepala Seksi Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa (RSJ), Aceh, Malawati.

Pasien level kedua kedua disebut dengan pasien sembuh klinis atau masih dalam perawatan. Kata Malawati, pasien katagori dalam perawatan ini masih dibutuhkan pengawasan oleh petugas medis professional.

"Sembuh klinis ini ada yang sempurna dan parsial. Yang parsial masih sesekali beralusinasi dan sempurna ini juga bisa kambuh kalau keluarga dan lingkungan tidak peduli," jelasnya.

Sedangkan level ketiga adalah disebut dengan pasien mandiri. Biasanya mereka yang sudah disebut mandiri akan dipulangkan ke keluarga masing-masing.

"Yang mandiri besar kemungkinan yang bisa memilih," kata Malawati.

Kendati demikian, pasien yang sudah mandiri juga berpeluang untuk kambuh kembali. Bila pihak keluarga atau lingkungan tidak menerima keberadaan pasien yang sudah mandiri itu, mereka bisa stres atau menambah beban pikiran, sehingga gangguan kejiwaan bisa kambuh lagi.

"Sangat tergantung keluarga dan lingkungan agar pasien tidak kambuh lagi," tutupnya. (**H)


Sumber: Merdeka.com





Berita Terkait

Tulis Komentar