Isu Politik Identitas Masih Jadi 'Primadona' di Pilpres 2019

  • Ahad, 30 Desember 2018 - 18:50:08 WIB | Di Baca : 1078 Kali

SeRiau - Isu politik identitas dalam Pilpres 2019 menjadi sorotan banyak pihak. Ada kekhawatiran bahwa isu tersebut kembali menjadi 'senjata' para calon yang bertarung di Pilpres 2019. Mengingat isu yang sama pernah menjadi primadona pada Pilkada DKI 2017.

"Memang Pilkada DKI 2017 memberikan trauma sampai sekarang ya, makanya kemudian politik identitas ini hanya akan memberikan kekhawatiran bahwa itu akan terulang sekarang, tetapi kita harus lebih terbuka juga," ujar Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, dalam diskusi dengan tema 'Berbalas Pantun Politik Identitas di Ujung Tahun: Siapa Untung, Siapa Buntung?' di Kantin Kendal, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (30/12/2018).

Bonar mengatakan kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, politik identitas kerap menjadi penyebab tingginya intoleransi di masyarakat. 

"Kita juga harus berhati-hati meningkatnya euforia identitas ini, dalam studi beberapa lembaga survei ketika identitas dinaikkan maka intoleransi menjadi tinggi," katanya. 

"Memang itu kecemasan-kecemasan yang kita hadapi, dan tidak bisa dipungkiri," imbuh Bonar.

Senada dengan Bonar, Direktur the Asian Muslim Action Network Indonesia, Rubi Dwi Khalifa, mengatakan dampak pertarungan politik akibat dari 'digorengnya' isu politik identitas pada Pilkada DKI 2017 hingga kini masih terasa. Dia bahkan menilai Pilkada DKI seolah menumbuhsuburkan radikalisme di Indonesia. 

Rubi mencontohkan kasus warga yang menolak menyalatkan jenazah yang memilih calon tertentu. Selain itu, juga adanya narasi bahwa jika memilih calon tertentu akan masuk neraka. 

"Yang seperti ini modelnya banyak dan semakin kuat," katanya. 

Dia pun berharap, penggunaan isu politik identitas tidak hanya semata-mata sebagai upaya untuk memenangkan kontestasi. Dia juga berharap kedua calon akan lebih menonjolkan gagasan dan visi-misinya dalam pertarungan Pilpres 2019 ini. 

"Untuk paslon yang masih menggunakan politik identitas, harus pikirkan remedinya, sehingga pasca pilpres tiap orang harus rekonsiliasi, bukan hanya dengan begitu saja lalu lepas. Tanpa ada intervensi yang masif, semasif politisasi identitas untuk memenangkan kekuasaan. Jadi kalau tidak ada remedinya, maka stop melakukan politik identitas, karena akan menoreh kepedihan mendalam di dalam masyarakat akibat pertarungan yang menggunakan politik identitas ini, seperti itu," tutur Rubi.

Sementara, Pendiri Lingkar Madani, Ray Rangkuti menilai saat ini kedua capres tampak sudah mengambil keuntungan dari perang politik identitas yang dilancarkan. Mengingat, isu tersebut efektif meraup suara. 

"Sekarang ini terus menerus menggunakan momen keagamaan dalam kerangka menegaskan politik identitas mereka, juga dalam konteks politik identitas itu. Jadi yang saya sebutkan tadi kalau pun tidak naik akan tetap karena kedua-duanya terlihat sudah seperti mengambil keuntungan dari situasi ini," ujar Pendiri Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, dalam diskusi dengan tema 'Berbalas Pantun Politik Identitas di Ujung Tahun: Siapa Untung, Siapa Buntung?' di Kantin Kendal, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (30/12/2018).

Tidak jauh dari pendapat Ray, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Ali Munhanif menilai saat ini penggunaan isu politik identitas dalam Pilpres 2019 memang sudah ditunjukkan oleh kedua paslon. Hal itu tampak jelas dari mobilisasi kultural keagamaan dan kultural primordial yang semakin meningkat. 

"Contohnya Aceh, tes fit proper, seberapa dalam kedua kubu paham aspek kultural, baca Alquran, ungkapnya, siapa yang jelas mewakili, yang layak menjadi aspirasi ulama. Saya percaya sindiran ini puncak politik identitas, apakah pemilu makin menguat, dugaan saya, politisasi aspek primordial akan semakin meningkat," tutur Ali. (**H)


Sumber: detikNews





Berita Terkait

Tulis Komentar