Menebus Dosa Atas Kekeliruan Data Beras

  • Rabu, 24 Oktober 2018 - 11:32:25 WIB | Di Baca : 1164 Kali


SeRiau - Pemerintah mengumumkan pemuktahiran data produksi beras nasional melalui metode Kerangka Sampel Area (KSA) yang dikembangkan bersama Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT). Caranya, dengan pemindaian satelit dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) untuk kemudian diolah Badan Informasi Geospasial (BIG).

Hasilnya, terdapat perbedaan sangat kentara antara data BPS dengan Kementerian Pertanian. Menurut data BPS, produksi beras nasional hingga akhir tahun sebanyak 32,42 juta ton. Sementara, ramalan Kementan memproyeksi sebanyak 46,5 juta ton. 

Tidak cuma produksi beras, data konsumsi beras nasional yang diungkap dua lembaga tersebut juga terpaut jauh. Data BPS melansir, konsumsi beras mencapai 29,5 juta ton. Sedangkan, Kementan menyebut konsumsi beras sebanyak 33,89 juta ton. 

Wajar, surplus beras hasil hitung-hitungan Kementan lebih aduhai, yaitu 12,61 juta ton. Sementara, suprlus versi BPS cuma 2,85 juta ton. 

Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat menyalahkan dirinya sendiri karena tidak sempat mengevaluasi data beras. Diketahui, kekeliruan data beras nasional sudah menahun sejak 20 tahun terakhir. 

"Angka produksi beras sejak 1997 sampai dengan sekarang itu terjadi produksi yang bertambah terus. Padahal, lahan (tanam) sawah berkurang 1,5 persen per tahun dan penduduk bertambah," ujarnya belum lama ini. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku lega dengan pembaruan data tersebut. 

Data yang mumpuni, menurut Darmin, membuat kebijakan pemerintah menjadi tepat sasaran. Berkaca dari proyeksi surplus beras yang minim, ia lega sudah mengantisipasi dengan kebijakan impor beras sejak awal tahun. "Kalau tidak impor, kita tewas," katanya. 

Baik JK maupun Menko sama-sama semringah saat mengumumkan pemuktahiran data produksi beras di Kantor Sekretariat Negara awal pekan ini, meskipun Menteri Pertanian Amran Sulaiman tak menampakkan hidungnya. 

Saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Rabu (24/10), Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Sumardjo Gatot Irianto mengatakan Kementan masih menunggu data resmi yang akan dikirimkan oleh BPS. 

"Posisi kami menunggu data resmi BPS dikirim ke Kementan. Data luas panen per kecamatan dengan produktivitasnya," imbuhnya tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. 

Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menuturkan bahwa data produksi beras terbaru bisa mengurangi potensi konflik kepentingan atas data yang selama ini diterbitkan dan diklaim surplus oleh Kementan. 

Ia mengingatkan bahwa Kementan memiliki beberapa target yang perlu dipenuhi sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ambil contoh, produksi beras harus meningkat rata-rata 2,71 persen dalam satu tahun, seperti tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 hingga 2019. 

"kementan yang punya program tentu ada kepentingan, makanya datanya selalu bagus. Ini terlalu conflict of interest. Peluang terjadi kesalahan terbesarnya ada di luar lahan panen yang sepenuhnya dikumpulkan di Kementan," terang Khudori. 

Selama ini, data Kementan sulit dibuktikan secara riil, karena proyeksi masih dilakukan dengan cara kuno, yaitu berdasarkan pandangan mata. Metode ini bahkan diterapkan sejak 1970-an. 

Pun demikian, ia mengimbau Kementan untuk merumuskan kebijakan yang lebih baik ke depannya. "Kementan dari tingkat pusat hingga daerah tidak perlu berkecil hati. Momentum ini mesti dijadikan langkah awal untuk merumuskan kebijakan yang lebih baik," tegas dia. 


Giliran Tata Niaga Beras 

Pemuktahiran data beras nasional patut diapresiasi. Apalagi, hal ini dilakukan jelang tahun politik. Biasanya, Khudori mengungkapkan pemerintah mempercantik data jelang pemilihan umum demi mendulang suara. Namun, kali ini pemerintah malah mengungkap kekeliruan data beras yang merupakan dosa turunan yang terjadi bertahun-tahun. 

"Kalau pemerintah mau pencitraan, pembukaan data (beras) ini seharusnya ditunda dulu. Apalagi, perbandingan data riil BPS dan Kementan ini sangat jauh, bisa menjadi bahan oposisi untuk menyerang Pemerintahan Jokowi. Tapi, pemerintah malah legawa, yang artinya peduli akan persoalan pangan ketimbang pencitraan politik," jelasnya. 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah juga mengapresiasi pendataan beras nasional yang lebih valid. Pun begitu, ia mengingatkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah setelah ini. 

Ia menilai permasalahan beras tidak hanya terletak di masalah data produksi, tetapi juga di tata niaga. Makanya, ia mendesak pemerintah mengumpulkan data persediaan beras dan lokasi-lokasinya. 

Sebab, tanpa data itu, pemerintah tidak akan mempunyai gambaran mengenai konsumsi riil dari beras yang diproduksi petani. 

Ketiadaan data mengenai persediaan beras dan lokasi, ia melanjutkan bisa menciptakan informasi yang semu. Banyak oknum yang dengan mudahnya bisa memainkan harga beras di pasar. 

"Selama ini, kita hanya tahu bahwa ada data gabah yang keluar dari sawah. Tapi, setelah itu, apakah pemerintah punya kendali? Stoknya dimana saja? Berapa stoknya? Ini penting demi pembentukan harga beras," tutur dia. 

Jika memang pemerintah keberatan untuk mendata semua stok beras di gudang-gudang, toh pendataan bisa dilakukan di 16 provinsi yang memiliki lahan baku sawah nasional yang luas. 

Ia meyakini data mengenai persediaan beras tidak akan sia-sia. Selain spekulasi harga beras bisa ditekan, petani tentu berhak tahu bahwa hasil produksinya benar-benar dikonsumsi masyarakat. 

"Kalau sekarang pemerintah sudah ada data akurat mengenai produksi, maka data itu harus sampai ke penggilingan. Sebab, kalau tidak ada, maka yang untung adalah tengkulak, yakni oknum yang memanfaatkan volatilitas harga beras," pungkasnya. 

 

 

Sumber CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar