Harga Minyak Meroket ke Level Tertinggi Sejak 2014

  • Selasa, 02 Oktober 2018 - 05:39:47 WIB | Di Baca : 1456 Kali

SeRiau - Harga minyak melonjak lebih dari USD 2 per barel, naik ke level tertinggi sejak November 2014, ditopang sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Iran dan kesepakatan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) yang mendorong permintaan minyak.

Dilansir dari Reuters, Selasa (2/10/2018), harga minyak Brent berjangka naik USD 2,25 atau 2,7 persen menjadi USD 84,98 per barel. Usai penutupan perdagangan, kontrak terus menguat, naik ke USD 85,45 per barel, perdagangan pertama di atas USD 85 sejak November 2014.

Harga minyak AS berjangka naik USD 2,05 per barel menjadi USD 75,3 per barel, tertinggi sejak November 2014.

AS dan Kanada menjalin kesepakatan pada hari Minggu untuk menyelamatkan NAFTA, sebuah perjanjian trilateral dengan Meksiko.

Phil Flynn, seorang analis Price Futures Group di Chicago, mengatakan kesepakatan NAFTA akan meningkatkan harga minyak karena meningkatkan prospek pertumbuhan permintaan tidak hanya untuk Kanada dan AS, tetapi untuk Amerika Utara secara keseluruhan.

Harga minyak yang lebih tinggi dan dolar AS yang kuat bisa menekan pertumbuhan permintaan tahun depan, kata para analis. Untuk saat ini pasar difokuskan pada sanksi AS terhadap Iran, yang mulai berlaku pada 4 November dan dirancang untuk memangkas ekspor minyak mentah dari produsen Nomor 3 di Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).

“Iran telah berusaha untuk mengecilkan dampak sanksi AS yang menjulang dengan mengklaim bahwa mereka tidak memiliki niat untuk mengurangi produksi minyak. Namun, klaim optimistis seperti itu tidak berpengaruh ke pasar,” kata PVM Oil Associates Strategist, Stephen Brennock.

Beberapa pembeli besar di India dan China telah mengisyaratkan bahwa mereka akan memangkas pembelian minyak Iran. Sinopec dari China mengatakan hal ini ditandai dengan berkurangnya 50 persen pembelian minyak Iran pada September.

Presiden AS Donald Trump berbicara kepada Raja Salman Saudi pada hari Sabtu tentang cara untuk menjaga kecukupan pasokan minyak. "Bahkan jika mereka (Arab Saudi) ingin membengkokkan keinginan Presiden Trump, berapa banyak kapasitas cadangan yang dimiliki kerajaan?" Kata Stephen Innes, Kepala Perdagangan untuk Asia-Pasifik Oanda di Singapura. (**H)


Sumber: Liputan6.com





Berita Terkait

Tulis Komentar