Lagi, Gajah di Aceh Mati Akibat Jerat

  • Senin, 01 Oktober 2018 - 05:37:11 WIB | Di Baca : 1298 Kali

 

SeRiau - gajah betina liar berusia 40 tahun di Blang Tualang, Birem Bayeun, Aceh Timur, mati setelah menjalani 13 hari perawatan di lereng hutan. Pergelangan kaki kirinya di bagian depan mengalami luka berat akibat terkena jeratan. 

Gajah yang diberi nama Meuthia itu sempat dibantu berdiri oleh petugas dengan menggunakan alat berat. Namun, usaha itu tak berhasil, hingga akhirnya nyawa Meuthia tak tertolong pada Jumat (29/9) sore. 

Selama 13 hari berada di dalam hutan, petugas berusaha mengevakuasi dan mengobati Meuthia. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Resort Langsa bersama tim dokter hewan dari VESSWIC yang dipimpin drh. Anhar, turut membantu mengobati Meuthia. 

Awalnya, Meuthia ditemukan pada Minggu (16/9) lalu di atas lereng bukit dengan ketinggian lebih dari 70 meter. Saat itu, ia terlacak sekitar pukul 12.00 WIB oleh tim gabungan dalam keadaan lemah, dengan luka di pergelangan kaki. Saat tim gabungan medekatinya, perilaku Meuthia langsung defensif dan agresif, menunjukkan rasa takut dan stres.

Tim kemudian dibagi dua untuk pengalih perhatian dan regu penembak menggunakan pistol bius. Tembakan pertama meleset, dan hanya mengenai bagian kulit ekor. 

Tembakan kedua terkena paha, dan ketiga mengenai belalai. Hingga akhirnya, Meuthia bisa terbius sekitar pukul 15.30 WIB. Tim Medis Veteriner Vesswic langsung melakukan penanganan medis. 

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo, mengatakan, untuk mempercepat tersadarnya Meuthia dari bius, tim medis Veteriner Vesswic menyuntikkan kembali antidota pada saat ia tersadar. Meuthia terlihat gugup dan terperosok dari pinggir lereng bukit ke arah bawah dengan jarak sekitar 20 meter dari posisi semula.

“Gajah menampakkan gejala memar di bagian belakang tubuh satelah jatuh dari lereng bukit, gajah terjebak di dalam lumpur. Tim Medis Veteriner Vesswic memberikan tindakan darurat agar kondisi gajah tersebut kembali pulih. Tim tetap mengawasi gajah tersebut, sambil berusaha untuk membangunkannya keluar dari lumpur,” kata Sapto, dikonfirmasi kumparan Minggu (30/9). 

Kata Sapto, kematian Meuthia bukan karena dipaksa menggunakan alat berat agar bisa berdiri dari dalam lumpur. Melainkan, karena kondisinya yang semakin melemah hingga akhirnya Meuthia tewas. 

“Saya pikir bukan karena dipaksa ya, upaya diberdirikan itu rekomendasi dari dokter, dan itu untuk menjaga agar gajah survive, karena sudah terendam kubangan air hujan. Bahkan matanya telah memutih,” katanya. 

“Dari hasil lab terjadi infeksi oleh bakteri akibat luka jeratan. Anemia berat, kondisi gajah tidak bertenaga karena HB (hemoglobin) rendah sekali di bawah normal, malnutrisi berat. Bahkan juga adanya gangguan fungsi gagal ginjal, serta gangguan fungsi hati,” tambah Sapto. 

Menanggapi maraknya kematian gajah akhir-akhir ini di Aceh akibat jerat, Sapto mengaku pihaknya telah melaporkan hal itu ke Kementarian Lingkungan Hidup dan Kehutanan soal jerat dan pagar listrik yang dinilai sudah darurat untuk diatasi. 

“Tidak hanya Aceh tapi seluruh Sumatera. Petugas kita bersama mitra seperti FKL dan WCS, tak mungkin bisa meng-cover seluruh wilayah Aceh karena luasnya kawasan. Apalagi konsentrasi Polhut BKSDA hanya di kawasan konservasi,” ujarnya. 

Karena itu, Sapto meminta dukungan dari tenaga Pengaman Hutan (PAMHUT) atau bentara rimba Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Aceh sebagai pemangku kawasan hutan di luar kawasan konservasi serta peran masyarakat. 

“Satwa terjerat selama ini dalam catatan kita terjadi di luar kawasan konservasi,” pungkasnya. (**H)


Sumber: kumparanNEWS





Berita Terkait

Tulis Komentar