Bank Dunia Prediksi Defisit Transaksi Berjalan RI 2,4 Persen di 2018, Ini Alasannya

  • Kamis, 20 September 2018 - 20:07:15 WIB | Di Baca : 1184 Kali

SeRiau - Bank Dunia meramalkan defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) Indonesia masih akan terus melebar. Sektor keuangan Indonesia yang dangkal serta tingkat ekspor dan investasi langsung asing yang relatif rendah menyiratkan bahwa tekanan dari arus keluar modal kemungkinan akan terus berlanjut.

"Sementara itu, defisit transaksi berjalan diperkirakan akan melebar menjadi 2,4 persen dari PDB pada 2018 dan stabil pada 2,3 persen di 2019," kata Country Director World Bank Indonesia, Rodrigo Chavez, dalam acara laporan Indonesia Economic Quarterly Bank Dunia edisi September 2018 yang dirilis hari ini di kawasan Sudirman,Jakarta Pusat, Kamis (20/9).

Dia menyebutkan langkah-langkah pemerintah untuk menekan defisit CAD seperti menaikkan pajak atas 1.147 komoditi impor dan menunda proyek infrastruktur publik tidak akan memiliki dampak yang besar pada transaksi berjalan dalam waktu dekat ini.

"Langkah-langkah tersebut sebenarnya mungkin memiliki akibat yang tidak diinginkan mengingat kebutuhan Indonesia untuk memperluas ekspor, yang mensyaratkan pemberian fasilitas impor, dan kesenjangan infrastrukturnya yang besar."

Tekanan berkelanjutan dari gejolak global kemungkinan akan menimbulkan pengetatan tambahan terhadap kondisi ekonomi makro. Hal ini terlihat dari komitmen yang ditunjukkan oleh otoritas fiskal dan moneter terhadap stabilitas ekonomi.

"Oleh karena itu, risiko penurunan pertumbuhan ekonomi telah meningkat. Walaupun nilai mata uang yang lebih rendah akan membantu menahan defisit transaksi berjalan dan merangsang pertumbuhan ekspor."

Selain itu, menurunnya nilai mata uang Rupiah juga dapat menurunkan kepercayaan konsumen dan meningkatkan inflasi, yang mengakibatkan pertumbuhan konsumsi yang lebih lambat.

"Imbal hasil obligasi yang lebih tinggi akan menyebabkan pembiayaan yang lebih mahal bagi korporasi, yang dapat mengurangi pemulihan kredit dan investasi swasta yang sedang merebak."

Peningkatan proteksionisme juga menimbulkan risiko yang tinggi bagi Indonesia melalui pertumbuhan ekspor yang melambat atau melalui efek perluasan (spillover) yang negatif dari pertumbuhan regional yang lebih lambat. (**H)


Sumber: Merdeka.com





Berita Terkait

Tulis Komentar