Diduga Ada 'Penumpang Gelap' Dalam Aksi dan Deklrasi #2019GantiPresiden

  • Ahad, 09 September 2018 - 18:02:34 WIB | Di Baca : 1114 Kali

SeRiau - Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi menilai aksi dan deklarasi #2019GantiPresiden menolak dikait-kaitkan dengan HTI dan ISIS. Namun, kata dia, faktualnya keberadaan isu yang berkaitan dengan kedua organisasi tersebut tetap melekat dalam setiap aksi dan deklarasinya.

"Apalagi model kampanye yang digunakan mirip dengan apa yang dilakukan di Suriah yang kemudian membelah publik dan menciptakan peperangan yang berlarut-larut di Suriah, dan juga Irak," kata Muradi, Minggu (9/9).

Dia melanjutkan, ada lima indikasi mengapa gerakan #2019GantiPresiden ditunggangi penumpang gelap yang mengancam NKRI. Pertama, meski sebagian presidium #2019GantiPresiden adalah penggiat partai, mereka telah resmi mengusung bakal calon pasangan presiden dan wakil presiden.

"Namun masih enggan untuk diasosiasikan dengan pasangan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa ada agenda yang berbeda antara kader partai tersebut dengan gerakan tagar ganti presiden," katanya.

Kedua, lanjutnya, aksi dan deklarasi tagar ganti presiden diidentikkan sebagai gerakan agama atau setidaknya berbasis dengan agama tertentu dengan menjadikan rumah ibadah sebagai bagian dari kampanye tagar ganti presiden.

"Gerakan tersebut selalu mengasosiasikan pemerintah antiagama tertentu meskipun misalnya capres petahana menjadikan ulama sebagai cawapresnya. Artinya secara politik, bukan hanya tidak mengingingkan bakal calon yang diusung para anggota presidium tersebut, tetapi juga menganggap bahwa ulama yang diusung oleh petahana sebagai figur yang tidak diinginkan," tuturnya.

Karena itu, kata dia, esensi gerakan tagar ganti presiden tidak dalam mengusung salah satu pasangan calon dari dua pasangan calon yang ada saat ini. Melainkan ada agenda politik tersendiri yang sama sekali berbeda dengan hajat politik yang tengah berlangsung saat ini.

"Ketiga, dalam setiap aksi dan deklarasi yang dilakukan hampir tidak pernah menyebut pasangan yang ingin diusung oleh partai dari presidium tagar ganti presiden tersebut," katanya.

Muradi menambahkan, jika jeli dalam melihat sejumlah orasi yang dilakukan kerap kali memancing solidaritas keumatan dengan berbagai isu yang belum tentu teruji kebenarannya. Hal ini mengingatkan pada jargon yang sering digunakan oleh HTI sebelum dibubarkan dan dilarang oleh pemerintah.

"Keempat, tagar ganti presiden juga secara eksplisit dan terbuka mengklaim sebagai gerakan konstitusional, namun pada praktiknya itu adalah bagian yang kemudian dijadikan pijakan legal argumentatif apabila gerakan yang dilakukan ditolak atau dilarang," katanya.

"Di sisi yang lain mereka juga kerap menggunakan jargon-jargon dan simbol yang digunakan oleh HTI dan juga ISIS, yang bila mengacu pada UU Anti Teror telah masuk wilayah penyebaran paham radikal dengan simbol-simbol tersebut," imbuhnya/

Kelima, hampir pasti gerakan tagar ganti presiden akan bermetamorfosa kembali untuk menolak penggunaan #2019PrabowoPresiden yang harusnya diusung serius oleh kader-kader yang partainya mengusung mantan danjen Kopassus tersebut sebagai capres.

"Hal ini agak mirip saat simbolisasi 212 redup, yang kemudian menggunakan tagar ganti presiden. Artinya ada penegasan bahwa gerakan tagar ganti presiden tidak menginginkan pola formal konstitusional sebagaimana yang diatur oleh undang-undang dalam proses pergantian kepemimpinan politik nasional," ujarnya.

Dari lima indikasi tersebut, katanya, dipastikan bahwa gerakan tagar ganti presiden tidak menginginkan alur proses politik kontestasi lima tahunan yang diatur dalam skema demokrasi prosedural.

"Dengan kata lain ada agenda politik tersembunyi yang ingin diperjuangkan di luar skema politik yang ada, dan hal tersebut nampak dari lima indikasi tersebut," imbuhnya. (**H)


Sumber: Merdeka.com





Berita Terkait

Tulis Komentar