Menengok Makam Gantung di Blitar, Benarkah Tergantung?

  • Rabu, 05 September 2018 - 17:24:50 WIB | Di Baca : 2369 Kali

SeRiau - Bagi warga Blitar, mendengar makam gantung sudah tak asing lagi. Namun bagi yang baru saja mendengar, pasti penasaran. Apa memang ada makam digantung.

Menjawab rasa penasaran itu, detikcom menyambangi Pesanggrahan Djojodigdan di Jalan Melati 43 Kota Blitar, lokasi makam gantung itu berada. Rumah kuno dengan pekarangan seluas 3,5 hektare itu banyak ditumbuhi pohon buah-buahan. Ada rambutan yang siap panen, Kedondong, Kluwih, dan Belimbing. 

Tampak dua patung singa duduk ada di sebelah kanan dan kiri teras rumah kuno itu. Areal makam gantung lokasinya ada di bagian belakang sisi kanan. Tampak beberapa pria juga berkunjung ke sana untuk ziarah.

Kabar yang beredar, makam gantung adalah makam keramat di Blitar. Di tempat itulah dimakamkan Mas Ngabehi Bawadiman Djojodigdo, seorang Patih Blitar yang menguasai ilmu Pancasona.

Menuju makam gantung, udara segar dan angin semilir menemani kita berjalan sekitar 100 meter. Dari jauh, sudah tampak pusara dengan empat payung mahkota yang terkesan mewah, di era zamannya.

Sampai di depan makam, ternyata, makam itu tidak digantung. Hanya saja, posisi nisannya memang lebih tinggi dibandingkan nisan-nisan lain di areal pemakaman itu. Makam Eyang Digdo dibangun di atas lantai pondasi setinggi 50 cm. Bangunan dasar berundak dua itu setinggi 1 meter. 

Di nisan bagian bawah (selatan) ada tulisan huruf Jawa. Menurut juru kunci makam gantung, Lasiman (70), tulisan Jawa itu berisi sejarah lahir dan meninggalnya Eyang Ngabehi Bawadiman Djojodigdo (nama lengkap Eyang Djojodigdo).

"Beliau lahir di Kulon Progo, Rabu Kliwon tanggal 5 Suro 1755. Atau 29 Juli 1827. Meninggalnya hari Kamis Pon, tanggal 18 Safar 1839 atau 11 Maret 1909. Saat berusia 84 tahun ," jelas Lasiman ditemui di padepokan Djojodigdo, Rabu (5/2018)

Makam tersebut, lanjutnya, dibangun pada 11 Ruwah 1840 atau 18 Agustus 1910. Lalu mengapa disebut makam gantung?

"Karena ilmu eyang, baju kebesaran dan senjatanya digantung di atas pusara beliau. Makanya diberi nama makam gantung ," jelas pria yang sudah delapan tahun menjadi juru kunci makam keramat di Blitar itu.

Banyak orang mempersepsikan jika jasad Eyang Digdo dimakamkan menggantung, alias tidak menyentuh tanah. Ini karena beliau punya ilmu Pancasona. Ilmu yang disebut membuat pemiliknya bisa hidup lagi, jika jasadnya menyentuh tanah. 

Sore ini suasana makam sangat sepi. Hanya kami berdua yang ada. Menurut Lasiman, biasanya banyak peziarah yang datang. Mereka datang dari berbagai kota di Indonesia. Seperti Surabaya, Bandung, Jakarta, dan beberapa kota di Pulau Kalimantan.*#

Sumber: detiknews





Berita Terkait

Tulis Komentar