Komisioner KPK: Apakah Parpol Kekurangan Kader sampai Calonkan Eks Napi Korupsi

  • Sabtu, 01 September 2018 - 12:19:58 WIB | Di Baca : 1147 Kali

SeRiau - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menyatakan, pihaknya dari awal mendukung Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang eks napi kasus korupsi, terorisme, dan narkoba menjadi caleg.

Hal itu dikatakan Laode menanggapi keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang meloloskan sejumlah calon legislatif (caleg) berstatus mantan narapidana kasus korupsi.

“Memangnya partai politik kekurangan kader apa sampai misalnya mencalonkan lagi yang mantan napi koruptor,” ujar Laode di Pulau Ayer, Kepulauan Seribu, Sabtu (1/9/2018).

Namun, kata Laode, pihaknya tidak memiliki wewenang untuk ikut campur pada aturan tersebut. Menurut dia, aturan untuk melarang eks napi kasus korupsi merupakan ranah penyelengara pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu.

“Saya tidak bisa mencampuri urusan Bawaslu, penilaian Bawaslu membolehkan,” kata Laode.

KPK, lanjut Laode, sebelumnya telah melakukan kajian mengenai partai politik.

“Kami menyoroti beberapa hal salah satunya sistem transparansi keuangan supaya mereka (parpol) me-manage keuangan partai dengan profesional, akuntabel dan transparan,” ujar  Laode.

“Kedua,soal kadarisasi harus dilatih, di-train, dan betul-betul dari bawah nggak boleh ujug-ujug nggak pernah ikut parpol karena banyak uang misalnya diusul jadi calon legislatif,” tabah dia.

Kode etik dan disiplin partai politik juga mesti ditegakkan.

Menurut Laode, jika kader parpol melakukan perbuatan yang bertentangan dengan etik dan telah diputus di pengadilan seharusnya diberi sanksi hukuman.

“Jadi seharusnya kita kembalikan ke parpol, kita sudah menyampaikan bahwa pelanggaran etik pun harus ditindak tegas kalau sudah melakukan kejahatan yang dihukum apalagi itu korupsi kita tidak merekomendasikan untuk menjadi caleg,” ujar dia.

Bawaslu sebelumnya meloloskan sejumlah mantan koruptor menjadi bakal caleg 2019. Mereka berasal dari Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Pare-Pare, Rembang, dan Bulukumba, dan terakhir dari DKI Jakarta.

Pada masa pendaftaran bacaleg, para mantan koruptor tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU. Namun orang-orang itu mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu setempat. Hasil sengketa menyatakan bahwa mereka memenuhi syarat (MS).

Bawaslu meloloskan mantan napi korupsi sebagai bacaleg dengan alasan berpedoman pada UU Pemilu, bukan PKPU Nomor 20 Tahun 2018. UU Pemilu tak melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg. (**H)


Sumber: KOMPAS.com





Berita Terkait

Tulis Komentar