Penjelasan KLHK soal Jokowi Divonis Melawan Hukum di Kasus Karhutla

  • Jumat, 24 Agustus 2018 - 00:07:14 WIB | Di Baca : 1402 Kali

 


SeRiau - Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), mengajukan kasasi setelah divonis melawan hukum dalam kasus kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Tengah pada 2015 silam. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan justru mempertanyakan vonis melawan hukum yang dilayangkan Pengadilan Tinggi Palangkaraya. 

Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, menyebutkan landasan masalah kasus tersebut adalah kasus karhutla (kebakaran hutan dan lahan) yang terjadi di tahun 2015. Tidak adil menumpahkan kesalahan seluruh kepada Jokowi. 

"Beberapa saat ketika Jokowi baru saja menjabat presiden," ujar Rasio dalam keterangan tertulis yang diterima kumparan, Kamis (23/8). 

Menurut Rasio, sejak Karhutla 2015 terjadi, Jokowi telah melakukan banyak hal. Salah satunya, meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya melawan segala bentuk kejahatan yang menjadi penyebab bencana menahun itu. 

"Bu Menteri sangat serius mengawal penegakan hukum karhutla, siapa pun pelakunya harus diproses hukum. Bahkan kita lakukan proses hukum pada korporasi, dan ini belum pernah tersentuh sebelumnya," tutur Rasio. 

Rasio menuturkan, sejak tahun 2015 sampai sekarang, sudah ada 510 kasus pidana lingkungan hidup dan kehutanan dibawa ke pengadilan oleh penyidik penegakan hukum KLHK. Menurutnya, hampir 500 perusahaan yang tidak patuh telah dikenakan sanksi administratif, dan puluhan korporasi yang dinilai lalai menjaga lahan mereka digugat secara perdata. 

Selain itu, kata Rasio, KLHK juga telah melakukan lebih dari 200 operasi penanganan satwa ilegal dan illegal logging untuk mengamankan sumber daya negara dan menjaga kelestarian ekosistem. 

Rasio mengatakan, sepanjang tahun 2015-2017, total putusan pengadilan yang sudah dinyatakan inkracht untuk ganti kerugian dan pemulihan (perdata), mencapai Rp 17,82 Triliun. Sedangkan untuk nilai pengganti kerugian lingkungan di luar pengadilan (PNBP) senilai Rp 36,59 miliar. 

"KLHK mempunyai komitmen dan konsistensi yang tinggi dalam penegakan hukum, termasuk untuk mencegah dan menanggulangi karhutla," tegas Rasio.

Rasio pun mencontohkan saat Karhutla pernah terjadi dan ternyata berasal dari konsesi lahan lebih dari 80 ribu Ha. Seharusnya sebagai pemegang izin, korporasi wajib mempunyai kemampuan dan siap untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran di konsesi mereka.

"Meluasnya kebakaran dikarenakan korporasi tidak mempunyai sarana, prasarana dan SDM yang memadai. Agar tidak terulang, kami telah diterapkan sanksi administratif, perdata dan pidana dengan tegas," ungkap Rasio.

"Penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan secara konsisten dan tegas, sesuai arahan Bu Menteri sebagai upaya untuk melaksanakan perintah konstitusi dan hak-hak masyarakat," ujarnya. 

Hal tersebut turut diamini Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK, Ruandha Agung Sugardiman. Menurutnya, sebelum tahun 2015, Indonesia selalu mengalami karhutla secara nasional. Namun, setelah bencana besar tahun 2015, yakni tahun 2016 dan 2017, Indonesia mulai bebas bencana asap secara nasional. Bahkan, Ruandha juga mengklaim tak ada satu haripun asap lintas batas ke negara tetangga. 

Dia menyebut, terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab Karhutla di tahun 2015. Mmulai dari jor-joran izin di masa lalu, alih fungsi lahan gambut, lemahnya penegakan hukum, hingga ketidaksiapan pemerintah saat titik api sudah meluas.

''Namun setelah itu berbagai langkah koreksi terus dilakukan secara konsisten. Kebijakan-kebijakan fundamental yang belum pernah ada sebelumnya juga dikeluarkan,'' tegas Ruandha. 

Bahkan, kata Ruandha, sejak tahun 2015, Siti Nurbaya telah menerbitkan Surat Edaran 494/2015 yang memerintahkan seluruh pemegang konsesi menghentikan semua kegiatan pembukaan gambut dan pembukaan kanal/drainase. Kemudian, terbit pula PermenLHK P.77/2015 yang mengatur pengambilalihan areal terbakar di konsesi oleh pemerintah. 

''Ini pertama kali dilakukan pemerintah, belum pernah ada sebelumnya. Menteri Siti Nurbaya juga menerbitkan peta areal terbakar 2015-2016 dan 2017, ini juga pertama kali dan belum pernah dilakukan sebelumnya,'' jelas Ruandha.

Keseriusan itu, kata dia, ditunjukkan dengan mengeluarkan kebijakan fundamental. Pada Januari 2016, Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.01 Tahun 2016 untuk membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Hingga, lahirnya PP 57 tahun 2016 tentang tata kelola gambut yang menjadi awal pondasi moratorium pembukaan gambut baru. 

''Semua kegiatan di lahan gambut, dilarang secara total. Karena kawasan gambut sangat rentan terbakar dan sulit dipadamkan,'' tegas Ruandha.

Terkait 12 tuntutan di Pengadilan Negeri Palangkara, sebagian besar saat ini sudah keluar. Seperti PP tentang kriteria Baku Kerusakan mencakup Kerusakan Biomassa, Terumbu Karang, Mangrove, Seagrass dan terakhir Ekosistem Gambut melalui PP. 57 tahun 2016.

PP tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan no. 46 tahun 2017; Peraturan tentang cara Pemulihan fungsi lingkungan, khususnya Ekosistem Gambut juga telah diatur melalui Permen LHK nomor 16 tahun 2017, serta banyak Peraturan Pemerintah lainnya.

''Jadi sebenarnya sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pasca karhutla 2015. Alhamdulillah hasilnya kita bisa lihat di 2016 dan 2017, Indonesia berhasil terhindar dari bencana asap secara nasional, setelah hampir 20 tahun terjadi secara rutin,'' jelasnya.

Sebelumnya Menteri LHK, Siti Nurbaya, dalam pertemuan dengan pejuang lingkungan perempuan se Indonesia, juga pernah blak-blakan menyampaikan langkah koreksi yang telah dilakukan pemerintah di masa Presiden Jokowi.

"Jangan dikira pemerintah tidak ngapa-ngapain. Banyak yang dilakukan dan sedang kami perbaiki," tegas Menteri Siti.

"Zaman dulu, sudah kebakaran baru ditangani. Kalau sekarang nggak. Begitu ada hot spot dikontrol terus. Kami pantau terus. Saya tiap pagi dan malam terima laporan, langsung kita selesaikan, kontrol dan selesaikan," sambungnya. 

Sementara, terkait lahan gambut yang dituding tak diurus pemerintah, Siti mengaku pihaknya sudah berusaha membuat tata kelola lahan gambut yang baik untuk manusia dan juga kelestarian alam. 

"Itu juga sedang dilakukan koreksi-koreksinya, dengan susah payah, babak belur, mati-matian juga. Saya kira kita semua merasakan," imbuhnya.

Adapun, koreksi lainnya yang kini tengah dilakukan, adalah terkait alokasi dan perizinan pemanfaatan tanah serta lahan. Siti menyebut, sudah terlalu banyak izin yang diberikan pemerintah terdahulu, bahkan jumlahnya mencapai 42 juta hektare.

Selain Jokowi, ada enam pihak lain yang turut digugat. Mereka adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Menteri Pertanian Republik Indonesia, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Kalimantan Tengah, dan Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.

Pengadilan Tinggi Palangkaraya yang mengabulkan sebagian gugatan itu, akhirnya memerintahkan para tergugat untuk menerbitkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Tak hanya itu, pengadilan juga menghukum Jokowi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang menjadi dasar hukum terbentuknya tim gabungan yang terdiri dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dan Kementerian Dalam Negeri.

 

 

 

 


Sumber kumparan





Berita Terkait

Tulis Komentar