KPK Berwenang Melakukan Pencegahan Kerugian Negara, Termasuk BUMN

  • Rabu, 22 Agustus 2018 - 15:11:11 WIB | Di Baca : 1079 Kali

SeRiau - Langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan bantuan informasi terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukan termasuk upaya tipu muslihat, bahkan surat yang diberikan KPK dapat menjadi alat bukti yang sah dan benar.

Demikian kesimpulan yang disampaikan oleh guru besar hukum pidana dari UGM Prof Eddy OS Hiariej, dan mantan hakim agung Dr Susanti Adi Nugroho SH MH, yang diajukan sebagai saksi ahli oleh BUMN panas bumi PT Geo Dipa Energi (Persero), di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (20/8/2018).

Dalam sidang sebelumnya, pihak Bumigas yang bersengketa dengan Geo Dipa menuding adanya tipu muslihat dalam keputusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan mempersoalkan surat yang dikeluarkan oleh KPK.

Berkaitan dengan adanya surat KPK, Eddy menyatakan bahwa adanya surat KPK tidak memenuhi kategori adanya tipu muslihat karena KPK mempunyai berbagai kewenangan yang sangat luas.

"Termasuk melakukan pengawasan, pencegahan, dan penyelidikan, serta memberikan informasi yang diperlukan yang diajukan oleh BUMN karena kegiatan BUMN ada dalam ranah pengawasan KPK," katanya.

Bahkan, secara hukum surat KPK harus dianggap sah dan benar (asas het vermoeden van rechmatigheid) kecuali dapat dibuktikan sebaliknya melalui proses Pengadilan yang berwenang, bukan PN Jakarta Selatan dalam perkara ini.

"Singkatnya, adanya Surat KPK tidak dapat dikategorikan terdapat tipu muslihat," kata Eddy.

Lebih lanjut, terkait dengan Surat KPK, bagi Eddy, selama itu dikeluarkan oleh institusi resmi dan dalam bentuk resmi, tidak mungkin dianggap tipu muslihat. Sebaliknya surat itu memiliki nilai kekuatan sesuai dengan isinya.

Sementara itu, Susanti juga menyatakan tidak dapat dikatakan terdapat tipu muslihat apabila suatu pihak mengajukan dokumen pada masa sidang pembuktian di lembaga arbitrase, termasuk surat yang dikeluarkan oleh KPK.

"Jadi adanya surat KPK tidak dapat dikategorikan adanya tipu muslihat, apalagi oleh BUMN yang berada dalam ranah pengawasan KPK," kata mantan hakim agung RI tersebut.

Susanti Adi Nugroho kemudian menjelaskan kesakralan dari klausula arbitrase dalam suatu perjanjian. Ketika para pihak sudah sepakat untuk menyelesaikan perselisihan di antara keduanya melalui arbitrase, maka PN tidak boleh campur tangan untuk memeriksa sengketa tersebut.

"Apalagi kalau perkaranya sudah pernah diperiksa dan diputus oleh lembaga arbitrase. UU Arbitrase tidak hanya melarang campir tangan pengadilan, tapi juga menghilangkan hak para pihak untuk bawa perkaranya ke pengadilan," katanya.

Menurut Susanti, memang UU Arbitrase memungkinkan PN untuk memeriksa perkara pembatalan putusan arbitrase, tapi hal itu diatur secara limitatif dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan tidak bisa dijadikan cantolan untuk pemeriksaan ulang sengketa di PN.

Dia menambahkan, PN juga tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili sendiri, apalagi atas sesuatu yang tidak pernah diminta sebelumnya. Harusnya pihak tersebut memintanya di proses arbitrase sebagai lembaga yang berwenang, bukan di PN.

Eddy OS Hiariej juga menekankan pentingnya pemahaman terhadap masing-masing alasan yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase.

Salah satu alasan pembatalan berdasarkan Pasal 70 adalah adanya dugaan tipu muslihat.

"Tapi, tipu muslihat ini harus dibuktikan juga, tidak bisa serta merta karena argumentasi ada dugaan tipu muslihat, lantas suatu putusan arbitrase dibatalkan begitu saja," katanya.

Dari interpretasi perundang undangan dan secara gramatikal, kata tipu muslihat itu harus diartikan terdapat keadaan palsu atau rekayasa sedemikian rupa yang dilakukan secara tidak sah atau melawan hukum.

Oleh karena itu, untuk membuktikan adanya tipu muslihat harus adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap yang membuktikan adanya tipu muslihat tersebut. (**H)


Sumber: TRIBUNNEWS.COM





Berita Terkait

Tulis Komentar