Vaksin MR Haram, tapi MUI Masih Memperbolehkan karena Darurat

  • Rabu, 22 Agustus 2018 - 06:44:47 WIB | Di Baca : 1379 Kali

SeRiau - Majelis Ulama Indonesia (MUI) berharap fatwa soal vaksin Measle-Rubella (MR) yang baru dikeluarkan membantu mengakhiri ketidakkepastian bagi warga Muslim untuk mengimunisasi anak mereka.

"Maksud utama dikeluarkan fatwa ini (adalah) karena kita sejak lama memang, sudah setahun lalu sejak pemerintah melakukan imunisasi di Jawa, kita sudah meminta mereka untuk diperiksakan masalah ini, tapi Kementerian Kesehatan tidak mendengarkan kita," kata Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat Bidang Fatwa, Sholahudin Al-Aiyub.

"Jadi harga yang harus dibayar itu ketika masyarakat sudah mendesak itu dan akhirnya program tahun berikutnya, yang di luar Jawa banyak yang ter-hold gara-gara program imunisasi MR ini belum ada kepastian tentang hukumnya," lanjutnya.

MUI menyatakan, vaksin MR mengandung enzim babi, tapi penggunaannya dibolehkan karena beberapa alasan, di antaranya sejauh ini tak tersedia vaksin yang benar-benar halal dan untuk mencegah efek negatif jika anak tak diimunisasi.

"Di luar ada kandungan babi atau enggaknya, kalau misalkan ada opsi lain, ya kita pakai yang enggak ada babi, cuman kan pada faktanya itu belum ada, apalagi untuk yang MR ini," ujar Dhona.

Tak semua pihak merespons positif fatwa MUI pusat. MUI Kepulauan Riau, misalnya, kukuh mengimbau warga Muslim untuk tidak ikut imunisasi campak dan rubella yang kembali digelar pemerintah.

"Kalau kami melarang. Kami tetap terus melarang hingga ada yang halal," ujar Ketua I MUI Kepulauan Riau Azhar Hasyim.

Mengandung enzim babi

Setahun belakangan, polemik soal haram tidaknya vaksin campak dan rubella atau MR ramai dibicarakan, mengakibatkan sejumlah orang tua tidak bersedia anak mereka diberi imunisasi dengan alasan vaksin tersebut dikhawatirkan palsu atau tidak memiliki sertifikat halal.

Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat Bidang Fatwa, Sholahudin Al-Aiyub menjelaskan, ternyata dari bahan-bahan yang dipergunakan untuk proses produksinya ada beberapa bahan yang dianggap "kritis dari sisi kehalalan, yaitu terkait dengan masalah trypsin dan gelatin yang berasal dari enzim babi".

"Maka diputuskan vaksin itu hukumnya adalah haram," tegas Sholahudin.

Akan tetapi, MUI kemudian menimbang apakah vaksin yang haram itu bisa digunakan, dengan melihat kondisi yang ada.

Kemudian, Komisi Fatwa mengumpulkan informasi, meminta keterangan kepada pihak terkait, misalnya, apakah tidak ada alternatf lain selain menggunakan vaksin yang haram ini.

Ternyata, hanya ada tiga negara yang memproduksi vaksin MR di dunia, yakni Jepang, China dan India.

Produksi Jepang yang hanya untuk memenuhi kebutuhan produksi domestik. Sementara, produksi vaksin dari China belum lolos uji keamanan, sehingga tidak direkomendasikan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO).

Adapun produksi vaksin MR dari India sudah digunakan oleh 150 negara di dunia, Indonesia salah satunya.

"Kita juga mendapat keterangan juga, bahwa sampai saat ini belum ada vaksin yang halal di dunia ini yang bisa digunakan," tuturnya. 

Di sisi lain, lanjut Sholahudin, dampak dari penyakit rubella harus diwaspadai. Selama lima tahun terakhir, terhitung ada sekitar 55.000 kasus MR.

"Itu kalau tidak dilakukan upaya-upaya masif dan terstruktur, itu bisa jadi di Indoensia akan berubah menjadi wabah. Oleh karena itu menjadi pertimbangan penting ada aspek yang sangat penting diperhatikan, yaitu tentang masalah kesehatan masyarakat secara umum," jelas Sholahudin.

Ini pula yang mendorong Dhona Yuniarta, yang mengesampingkan haram atau halalnya vaksin MR demi mencegah anaknya yang memiliki kondisi kesehatan yang rentan, supaya terhindar dari penyakit campak dan rubella.

"Aku memilih untuk tetap menggunakan daripada tidak, karena ketakutan misalkan dia tertular penyakit rubella dan campak," katanya.

Kontraproduktif dengan program imunisasi massal

Namun, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dokter Aman Bhakti Pulungan menganggap fatwa ini kontroduktif dengan upaya Kementerian Kesehatan yang sedang melaksanakan program imunisasi masal terhadap anak-anak di luar Jawa. Dikhawatirkan, akan makin banyak orang tua yang enggan anaknya diimunisasi vaksin MR.

"Bisa jadi targetnya tidak tercapai dan kita bagaimana mengeliminasi kejadiannya?" ujar Aman.

Apalagi, Aman menegaskan, kedua penyakit ini sangat berbahaya.

"Campak menyebabkan kematian. Kalau rubella, kalau anaknya menulari ibu yang hamil, akan menyebabkan bayi lahir cacat," cetusnya.

Campak dan Rubella adalah penyakit infeksi menular melalui saluran napas yang disebabkan oleh virus. Campak dapat menyebabkan komplikasi yang serius seperti diare, radang paru (pneumonia), radang otak (ensefalitis), kebutaan bahkan kematian.

Rubella biasanya berupa penyakit ringan pada anak, akan tetapi bila menulari ibu hamil pada trimester pertama atau awal kehamilan, dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan pada bayi yang dilahirkan.

Kecacatan tersebut dikenal sebagai Sindroma Rubella Kongenital di antaranya meliputi kelainan pada jantung dan mata, ketulian dan keterlambatan perkembangan. Tidak ada pengobatan untuk penyakit campak dan rubella, namun penyakit ini dapat dicegah.

Betapapun, Kementerian Kesehatan bersikukuh tetap melaksanakan program nasional imunisasi untuk mengendalikan penyakit rubella serta kecacatan bawaan akibat rubella ditengah polemik vaksin MR yang terus berlanjut.

"Kemenkes sebagai pelaksana tetap melaksanakan program nasional imunisasi untuk anak-anak Indonesia di masa yang akan datang, mengacu pada sudah mendapat izin edar dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)," ujar Humas Kementerian Kesehatan, Widyawati Rokom.

Tahun ini, rencananya sejumlah 35.000 anak akan diberi imunisasi MR. Pemberian imunisasi MR ditargetkan mencapai cakupan minimal 95 persen. Target itu dimaksudkan agar eliminasi campak dan pengendalian rubella dapat terwujud pada 2020. (**H)


Sumber: Okezone





Berita Terkait

Tulis Komentar