Motif dan 'Nyanyian' Sakit Hati Mahfud untuk Cak Imin-Ma'ruf

  • Jumat, 17 Agustus 2018 - 07:17:00 WIB | Di Baca : 1309 Kali

SeRiau -  Mantan Ketua Mahkamah Konsititusi Mahfud MD membeberkan cerita di balik kisah deklarasi bakal cawapres Joko Widodopekan lalu. Nama yang terucap dari Jokowi kala itu bukan yang digadang-gadang dalam beberapa hari terakhir sebelum deklarasi, dalam hal ini Mahfud MD.

Alih-alih mengumumkan Mahfud, Jokowi justru menyebut nama Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ma'ruf Amin. Sontak pengumuman itu mengagetkan banyak pihak di luar orang-orang berkepentingan dalam koalisi pendukung Jokowi, tak terkecuali Mahfud sendiri.

Elite-elite dari koalisi berkomentar, sementara beberapa pihak menduga ada perubahan nama di detik-detik akhir deklarasi, dari Mahfud menjadi Ma'ruf. Mahfud malam itu juga hanya berkomentar 'seadanya'. Hingga pada satu kesempatan pada acara ILC TV One, Selasa (14/8) malam, Mahfud buka-bukaan terkait kegagalan menjadi cawapres Jokowi.

Sejumlah nama diseretnya dalam nyanyiannya malam itu. Di antaranya Ma'ruf dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

Mahfud menyebut bahwa Ma'aruf berperan besar atas tidak terpilihnya dia sebagai bakal cawapres Jokowi. Ma'aruf, kata Mahfud, yang mendikte Ketua PBNU Robikin Emhas untuk mengeluarkan pernyataan bahwa NU tak bertanggung jawab secara moral andai yang dipilih Jokowi bukan kader NU.

"Lalu mereka sepertinya marah-marah membahas, kemudian kiai Ma'ruf (bilang) 'Kalau itu kita nyatakan kita tak bertanggungjawab secara moral atas pemerintahan ini kalau bukan kader NU yang diambil [jadi cawapres]'. Ini kata Muhaimin," terang Mahfud di acara tersebut.

Kader NU yang dimaksud Robikin tidak termasuk nama Mahfud, karena pada hari yang sama Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj sudah lebih dulu menyatakan bahwa mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu bukan kader NU.

Pernyataan Mahfud tersebut masih menimbulkan tanda tanya di benak publik, terutama motivasi dia membeberkan adanya 'permainan politik' di balik layar batalnya dia jadi cawapres Jokowi.

Direktur Ekskekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djajadi Hanan menilai alasan Mahfud membeberkan ke publik adalah suatu bentuk klarifikasi. Pasalnya selama ini publik hanya menerima pernyataan dari pihak partai koalisi pendukung Jokowi.

Mahfud setelah deklarasi itu belum memiliki kesempatan berbicara kepada publik alasan dia tidak terpilih menjadi cawapres. Dia hanya mengungkapkan itu bagian dari realitas politik yang harus ia terima, meski mengaku hanya kaget.

"Menurut saya Pak Mahfud hanya menyampaikan apa yang dia ketahui dan dia alami. Kan selama ini hanya dari pihak partai pendukung Jokowi, dari Pak Mahfud wajar kalau disampaikan perimbangannya," terang Djajadi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (15/8).

Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menilai pernyataan Mahfud sebagai bentuk upaya meluruskan pernyataan yang tidak konstruktif oleh PBNU dalam proses penentuan cawapres.

Argumen yang dimaksud adalah tudingan PBNU yang menyebut bahwa Mahfud bukanlah kader NU. Sebagai seorang akademisi yang cukup matang di dunia perpolitikan, kata Ubed, Mahfud merasa perlu meluruskan argumen tersebut.

"Momentum meluruskan itu ada di kesempatan itu, saya kira lebih karena argumen yang tidak fair oleh ketua Umum PBNU," terang dia.

Sakit Hati Mahfud

Selain klarifikasi, tersirat juga alasan sakit hati dalam pernyataan Mahfud tersebut. Wajar saja, karena pernyataan Said Aqil itu melukai perasaan Mahfud yang mengaku sudah sejak sejak lama menjadi bagian dari NU.

"Saya ini kader NU, sekolah saya, kepengurusan saya juga di NU. Kalau harus ikut pelatihan, saya kira Muhaimin juga bukan kader karena dia PMII. PMII itu bukan NU. Dia kariernya di PMII. Kalau harus pengurus ranting, cabang, apa itu, saya kira orang NU di seluruh Indonesia tak sampai satu juta," tutur Mahfud masih dalam acara ILC.

Ubed menuturkan hal yang paling menyakitkan secara psikologis untuk Mahfud bukan karena dia tidak terpilih menjadi cawapres, melainkan karena dia tidak dianggap sebagai bagian dari NU.

Menurut Ubed seandainya Said Aqil tidak menyatakan bahwa Mahfud bukan bagian dari NU, Mahfud tidak akan mengeluarkan pernyataan demikian.

"Beliau juga menerima tidak jadi cawapres yang jadi masalah beliau tidak dikaitkan sebagai orang NU," terang Ubed.

Sementara itu Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Jakarta Syarid Hidayatullah Adi Prayitno menuturkan Mahfud ingin berpesan kepada publik bahwa pelabelan seseorang sebagai Nahdiyin bukan semata otoritas dari NU.

"Ini sudah masuk domain politis. NU sudah menjadi bagian dari kepentingan politik tertentu. Akhirnya orang tahu di level NU ini ada yang ingin mengincar posisi cawapres," terang Adi.

Mahfud, kata Adi, tidak nyaman dengan orang-orang yang menggunakan NU sebagai basis legitimasi untuk menurunkan martabatnya.

Menurut Adi tidak ada motif lain di balik pernyataan terbuka Mahfud. Urusan batal cawapres bukan menjadi alasan utama Mahfud.

Mahfud sendiri sudah legowo sejak awal karena dia sadar betul namanya hanya menjadi satu dari sekian nama kandidat cawapres Jokowi.

Ma'ruf, Cak Imin, dan Peringatan terkait 'Kasus Durian'

Menurut Adi nama Ma'aruf dan Cak Imin yang kerap kali disebut Mahfud dalam pernyataannya di ILC tersebut bukan tanpa maksud. Kedua orang itulah yang berperan besar dalam perubahan keputusan Jokowi dan koalisinya dalam memilih posisi cawapres pendamping.

Ma'aruf dan Cak Imin adalah dua aktor utama yang berada di lingkaran terdalam kekuasaan yang dekat Jokowi. Diketahui Ma'aruf selaku Ketum MUI dan seorang Rais Aam PBNU yang kerap kali dimintai nasihatnya oleh Jokowi di Istana.

Sementara Cak Imin merupakan Ketua Umum PKB yang kerap kali berhubungan dengan Jokowi dalam hal pembentukan koalisi untuk maju di Pilpres 2019. Di sisi lain, Mahfud MD hanyalah ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang notabene tidak sesering Ma'aruf dan Cak Imin bertemu dengan Jokowi.

"Kalau sudah berbicara soal PKB dan PBNU ini ada tokoh kuncinya, ada Cak Imin sebagai ketua umumnya PKB dan Ma'aruf Amin sebagai Rais Aam-nya," terang dia.

Selain itu Adi menilai dibawanya nama Ma'aruf dalam pernyataan Mahfud bertujuan untuk mengingatkan bahwa sosok seorang Rais Aam tidak selamanya suci dari hasrat politik.

Mahfud ingin menunjukan bahwa Ma'aruf bukan semata seorang pembina umat tetapi juga sosok yang cukup ambisius terhadap kekuasaan karena disebut menjadi salah satu aktor di balik drama cawapres Jokowi.

"Kan selama ini yang kita bayangkan Ma'aruf ini adalah seorang yang anti kekuasaan, penjaga moral. Pengakuan Mahfud ini sekaan menjungkir balikan kenyataan itu semua," ujar Ubed.

"Pengakuan Mahfud ini memberikan satu fakta bahwa PBNU dan bahkan Rais Am-nya tidak lepas dsri syahwat politik untuk meraih kekuasaan seluas-luasnya dengan posisi cawapres itu, " terang Adi.

Sementara itu, Ubed menilai terseretnya nama Cak Imin juga menjadi semacam peringatan dari Mahfud. Mahfud, kata Ubed, ingin mengingatkan bahwa semasa Cak Imin menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi terseret dalam pusaran kasus korupsi 'kardus durian'.

"Termasuk juga mengingatkan Cak Imin mengingatkan memang pernah mengalami beberapa persoalan terkait dengan kardus durian, kasus korupsi yang kemudian dibantu oleh Mahfud untuk mengatasi persoalan itu," ujar Ubed.

Diketahui kasus 'kardus durian' merupakan kasus korupsi Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi (PPIDT) di Papua pada 2011. Kasus ini melibatkan pejabat Kemenakertrans yang saat itu dipimpin oleh Cak Imin. Kasus ini juga melibatkan PT Alam Jaya Papua sebagai pihak swasta.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika itu melakukan tangkap tangan pada 25 Agustus 2011 dan meringkus dua anak buah Cak Imin di Kemenakertrans. Sementara Cak Imin sudah berulang kali diperiksa KPK sebagai saksi karena dianggap mengetahui kasu tersebut. (**H)


Sumber: CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar