IDI: Aturan Baru BPJS Kesehatan Picu Komplikasi Penyakit

  • Kamis, 02 Agustus 2018 - 14:39:35 WIB | Di Baca : 1329 Kali


SeRiau - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menilai peraturan baru Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dapat memicu komplikasi penyakit pasien.

Badan asuransi kesehatan pelat merah itupun didorong untuk mengevaluasi aturan tersebut.

Sebelumnya, BPJS Kesehatan menerbitkan tiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan (Perdirjampel) Kesehatan yang baru terkait Penjaminan Pelayanan Katarak, Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Baru Lahir Sehat, dan Pelayanan Rehabilitasi Medik, yang mulai berlaku 21 Juli 2018.

"Tentu kalau kita melihat apa yang dilakukan BPJS untuk mencapai sasaran, saya katakan itu hanya dalam bentuk pencitraan," kata Ketua Umum PB IDI Ilham Oetama Marsis di kantornya, Jakarta, Kamis (2/8).

Adapun Perdirjampel BPJS Kesehatan Nomor 2, 3 dan 5 tahun 2018 yang dinilai merugikan pasien itu berisi tentang:

Pertama, bayi baru lahir dengan kondisi sehat pasca-operasi caesar maupun normal dengan/atau tanpa penyulit dibayar dalam satu paket persalinan.

Sebelumnya, jaminan pembiayaan untuk persalinan bayi dengan indikasi medis dan memerlukan perawatan khusus selama ini disatukan menjadi satu paket dengan kepesertaan atas nama ibunya.

Kedua, penderita penyakit katarak dijamin BPJS Kesehatan apabila visus (ketajaman atau kejernihan) mata pasien kurang dari 6/18 preoperatif. Jumlah operasi katarak pun dibatasi dengan kuota.

Sebelumnya, biaya operasi katarak tetap dijamin BPJS Kesehatan tanpa nempertimbangkan visus mata pasien. 

"Kuota [operasi] ini akan mengakibatkan angka kebutaan [akibat katarak] semakin meningkat," lanjut Marsis.

Ketiga, tindakan rehabilitasi medis dibatasi maksimal dua kali per minggu atau delapan kali dalam sebulan.

Sebelumnya, pasien tidak memiliki batasan untuk memanfaatkan pelayanan fisioterapis. Padahal, Marsis menyebut setiap pasien membutuhkan perawatan yang berbeda-beda tergantung kondisi kesehatannya.

"Jika pelayanan rehabilitasi medik maksimal dua kali seminggu, pasien akan rugi karena itu tidak sesuai dengan standar pelayanan rehabilitasi medik. Akibatnya, hasil terapi tidak tercapai secara optimal dan kondisi disabilitas sulit teratasi," kata dia.

PB IDI pun meminta BPJS Kesehatan tiga Perdirjampel itu direvisi dan menyesuaikannya dengan kewenangan BPJS Kesehatan yang hanya membahas teknis pembayaran dan tidak memasuki ranah medis.

Bagi Marsis, defisit BPJS tidak bisa dijadikan alasan untuk menurunkan kualitas pelayanan. 

"Kebijakan ini sebenarnya langkah efisiensi dari BPJS yang akan menghemat Rp388 miliar defisit. Tapi apa yang terjadi? Kerugian yang akan terjadi jauh lebih besar," kata Marsis.

Marsis mencontohkan masalah bayi baru lahir yang terkena komplikasi justru akan berdampak pada pembiayaan klaim BPJS yang lebih besar 

"Contoh masalah bayi baru lahir yang unpredictable dan terjadi komplikasi. Tentunya biaya akibat komplikasi itu akan jauh lebih besar dari Rp388 milyar sebagai upaya penghematan," kata Marsis.

Diketahui, BPJS Kesehatan masih mengalami defisit anggaran. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2017 menemukan suntikan dana cadangan sebesar Rp3,6 triliun dari Pemerintah kepada BPJS Kesehatan tahun lalu.

Namun, itu tidak bisa menutup defisit BPJS Kesehatan yang mencapai Rp5,72 triliun. 

 

 

 

 

Sumber CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar