Angka Kemiskinan versi Oposisi Diduga Salah Hitung

  • Kamis, 02 Agustus 2018 - 12:15:03 WIB | Di Baca : 1114 Kali

 


SeRiau - Deputi III Bidang Ekonomi Kantor Staf Presiden (KSP) Denni Puspa Purbasari membantah pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono yang menyebut angka kemiskinan di Indonesia masih tingga.

Pernyartaan SBY bahwa tingkat kemiskinan Indonesia masih di angka 100 juta jiwa berbanding terbalik dengan data hasil Badan Pusat Statistik (BPS). Ia menduga kubu oposisi salah hitung soal angka kemiskinan yang didasarkan atas penggunaan kurs dolar terhadap rupiah.

"Tidak begitu caranya. Menghitung garis atau angka kemiskinan itu didasarkan pada dolar purchasing power parity (PPP) bukan nominal dolar seperti yang kita lihat keseharian saat menukarkan uang," ujarnya melalui sambungan telepon dalam Bedah Editorial Media Indonesia, Kamis, 2 Agustus 2018.

Denni mengatakan untuk menghitung angka atau garis kemiskinan, BPS maupun kantor statistik semua negara menggunakan metodologi yang sama yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan diobservasi oleh Bank Dunia.

Penghitungan angka kemiskinan berdasarkan dolar PPP menurut Denni karena nilai satu dolar memiliki daya beli berbeda di setiap negara.

"Di negara berkembang satu dolar bisa membeli banyak barang dan jasa," kata dia.

Denni menjelaskan di banyak negara perhitungan angka kemiskinan umumnya menggunakan perbandingan 40:40:20. Distribusinya 40 pertama untuk kategori penduduk miskin, 40 berikutnya kategori menengah, dan 20 sisanya untuk penduduk kaya.

Setiap negara termasuk Amerika dan Thailand, kata Denni, menghitung menggunakan pola itu. Ketika SBY melontarkan pernyataan bahwa tingkat kemiskinan masih bertengger di angka 100 juta jiwa, Denni menduga perhitungan tersebut mentah.

"Penduduk Indonesia kan 260 juta, kalau 40 persen itu diendap ke kategori penduduk miskin berarti angkanya 105 juta penduduk. Setiap negara sudah pasti membaginya seperti itu," ungkapnya.

Denni menambahkan, bicara tentang angka kelompok terbawah yang 40 persen itu, statistik menunjukkan bahwa pengeluaran per bulan per kapita dari jumlah tersebut faktanya lebih tinggi ketimbang kelompok 40 persen menengah atau 20 persen kaya. 

Artinya, lanjut Denni, di sinilah mengapa pemerintah Indonesia menyebut angka ketimpangan menurun, karena angka 40 terbawah tumbuh lebih cepat ketimbang porsi kalangan menengah maupun atas.

"40 persen paling bawah itu tumbuh 3 persen sedangkan yang 20 persen hanya tumbuh 2,6 persen. Makanya (asumsi SBY) tidak benar, rilis BPS 19 Juli 2018 mengatakan angka kemiskinan Indonesia itu 25,9 juta jiwa atau 9,8 persen dari jumlah penduduk," jelas dia.

 

 


Sumber metrotvnews





Berita Terkait

Tulis Komentar