Jokowi Diminta Buat Keputusan Politik Hadapi Gerakan OPM

  • Selasa, 24 April 2018 - 11:20:54 WIB | Di Baca : 2882 Kali

 


SeRiau- Aksi-aksi teror yang dilakukan kelompok bersenjata dari gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), dianggap sudah melewati batas. Tidak hanya menyandera dan menganiaya warga, bahkan mereka sampai melakukan pemerkosaan terhadap guru kontrak di Kampung Aroanop Tembagapura, Papua.

Mantan Komisioner  Komnas HAM, Manager Nasution, menilai, melihat tindakan kelompok separatis itu, sebaiknya pemerintah tidak lagi melabeli mereka dengan sebutan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB). Melihat pola dan akibat yang ditimbulkannya, sulit untuk membantah bahwa itu dilakukan oleh Kelompok Separatis Bersenjata (KSB).

"Penyebutan KKSB oleh rezim ini, di samping seolah menyimplifikasi persoalan pokok, juga terkesan negara kurang berpihak pada korban serta patut diduga diskriminatif. Hampir bisa dipastikan, sekira peristiwa yang sama terjadi di teritori lain, sebutannya bukan KKSB, tapi KSB, bahkan dilabeli sebagai teroris," ujar Manager, Selasa 24 April 2018.

Kerja TNI dan Polri, dalam memberantas kelompok ini, menurutnya, patut dipuji. Apalagi, beberapa waktu lalu, TNI berhasil membebaskan sandera guru dan warga, yang dilakukan kelompok ini.


Direktur Pusdikham Universitas Prof. Hamka ini melanjutkan, melihat sepak terjang kelompok separatis Papua itu, maka perlu keputusan politik Presiden Joko Widodo agar ruang gerak TNI juga bisa lebih kuat.

"Sebaiknya Presiden mempertimbangkan keputusan politik negara bagi penanganan kasus-kasus KSB di Papua, sehingga TNI tidak berada di bawah bayang-bayang pelanggaran HAM ketika berhadapan dengan Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) di Papua," tuturnya.

Keputusan politik itu, bisa diambil Presiden sebagai langkah konstitusi Kepala Negara. Unsur pemerintah dan lembaga negara yang lain, menurutnya, juga harus ambil bagian mendukung posisi negara. Seperti Komnas HAM yang menurutnya harus turun, menginvestigasi kemungkinan pelanggaran HAM berat oleh kelompok tersebut.

"Melakukan investigasi terhadap dugaan kuat terjadinya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) itu secara profesional, independen, dan berpihak kepada korban serta dalam konteks NKRI," katanya.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK, juga, menurutnya, harus turut aktif. Melindungi para saksi dan korban akibat perbuatan kelompok separatis itu. Sementara itu, untuk para pengajar yang disandera dan mengalami tindakan kekerasan, Kemendikbud juga perlu turun tangan.

"Sebaiknya Kemendikbud hadir menunaikan mandat konstitusionalnya dengan melindungi hak-hak konstitusional guru yang mengalami kekerasan dan penistaan martabat oleh Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) di Papua," katanya.

Dalam beberapa waktu belakangan ini, kondisi keamanan di wilayah Papua semakin memanas. Terutama setelah adanya ultimatum perang yang dikeluarkan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Bahkan, TNI dan Polri telah menggelar operasi senyap menumpas kelompok yang dijuluki dengan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) itu.

Pernyataan ultimatum perang itu diumumkan Mayor Jenderal G. Lekkagak Telenggen, usai dilantik sebagai kepala staf operasi Komando Nasional TPNPB, pada 2 Februari 2018, di Markas Kimagi, Distrik Yambi, Puncakjaya, Papua.

Pembacaan ultimatum itu diunggah TPNPB di akun YouTube resminya. Dalam rekaman video, terlihat ultimatum dibacakan secara resmi dengan latar belakang bendera Bintang Kejora dan dikawal puluhan anggota OPM bersenjata laras panjang.

"Perang jangan berhenti, perang harus tanpa intervensi internasional di Papua. Ultimatum perang, saya sudah umumkan. Jadi, perang harus dilakukan di mana saja di Papua. Ketentuan, aturan perang kami sudah keluarkan. Panglima TNI, Polda harus tunduk pada aturan itu. TPN di seluruh Papua, perang harus berdasarkan aturan ini. Tujuan kami ingin perang lawan TNI, Polri sudah tercantum dalam aturan TPN," kata Lekkagak. ( Sumber : Viva.co.id)





Berita Terkait

Tulis Komentar