KPK Buka Peluang Tersangkakan Korporasi di Kasus BLBI

  • Kamis, 19 April 2018 - 14:00:45 WIB | Di Baca : 1750 Kali

 

SeRiau- Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan ada peluang korporasi menjadi tersangka dalam kasus BLBI. Namun, ia enggan menyebut perusahaan apa yang berpeluang sebagai tersangka.

"Insyaallah. Ya nanti kita ikuti. Pelakunya siapa, saya nggak perlu harus sebut nama," kata Agus di kantor Kemendikbud, Jalan Sudirman, Jakarta, Kamis (19/4/2018).

Dalam kasus BLBI ini, Agus menyatakan KPK fokus pada dugaan pelanggaran hukum saat pelaksanaan kebijakan. Menurutnya, kebijakan tidak bisa dikriminalisasi.

"Kita menyoroti pelaksanaan. Jadi kita policy pada waktu itu kita nggak mempermasalahkan. Masa policy dikriminalkan, kan nggak boleh," ujarnya.

Sebelumnya, BLBI adalah skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter pada 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

Kejaksaan Agung saat dipimpin MA Rachman menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) terhadap 10 tersangka kasus BLBI pada 2004. Hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menyebutkan Rp 138,4 triliun, dari Rp 147,7 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, dinyatakan merugikan keuangan negara. Penggunaan dana-dana tersebut kurang jelas.

KPK juga menetapkan eks kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka dalam kasus penerbitan SKL terhadap Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang memiliki kewajiban kepada BPPN.


KPK menyebut perbuatan Syafruddin mengusulkan disetujuinya KKSK perubahan atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.

Hasil restrukturisasi sebesar Rp 1,1 triliun dinilai sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dibahas dalam proses restrukturisasi, sehingga seharusnya masih ada kewajiban obligor setidaknya Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan.

Namun data itu telah diperbarui. KPK menyebut dalam audit BPK terbaru, nilai kerugian keuangan negara dalam kasus ini menjadi Rp 4,58 triliun. Nilai itu disebabkan Rp 1,1 triliun yang dinilai sustainable, kemudian dilelang dan didapatkan hanya Rp 220 miliar. Sisanya, Rp 4,58 triliun, menjadi kerugian negara. (Sumber : Detiknews.com)





Berita Terkait

Tulis Komentar