Perdagangan Anak Berkedok Magang, 600 Orang Jadi Korban

  • Selasa, 03 April 2018 - 20:34:40 WIB | Di Baca : 1403 Kali

SeRiau - Perdagangan anak berkedok magang kini menjadi modus baru dalam mengeksploitasi anak-anak. Tak hanya ruang publik, eksploitasi juga dilakukan di ruang privat yang tak terdeteksi aparat Kepolisian. Dunia pendidikan pun kembali 'kecolongan'.

1. 600 orang jadi korban

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), data sementara korban berjumlah 600 anak di Jawa Tengah dan kiriman dari NTT sejak tahun 2009. Sementara itu, data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Tengah menyebutkan saat ini jumlah korban mencapai 138 orang, terdiri dari 86 korban dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Jawa Timur, sedangkan 52 korban dari SMK Kendal yang kini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Semarang. 

"Pelaku program magang palsu kini sudah menjadi terdakwa, yakni Windy selaku Direktur PT Sofia yang bekerja sama dengan PT Walet Maxim Birdnest milik Albert Tei di Selangor, Malaysia," ungkap Komisioner bidang Trafficking dan Eksploitasi Anak Ai Maryati Solihah di Kantor KPAI Jakarta, Selasa (3/4).

Seperti diketahui, modus perdagangan manusia melalui magang oleh PT Sofia telah berlangsung sejak 2009, namun baru terkuak. 

2. Korban menggunakan visa kunjungan

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menambahkan, diduga sindikat yang beropersi di SMK NTT bisa dengan mudah mengelabui pihak sekolah. Para siswa yang tertipu dan berangkat 'magang' menggunakan paspor visa kunjungan, bukan visa kerja. Mereka diiming-imingi sebuah kebanggaan seperti "Alumni kalau magang ke luar negeri". 

"Anak-anak yang magang biasanya masih berusia 17 tahun atau masih kelas 11 SMK, karena yang kelas 12 fokus ujian," kata Retno.

Dalam beberapa kasus, lanjut Retno, tidak ada perjanjian awal sebelum resmi diberangkatkan ke luar negeri. Selain itu, banyak yang 'magang' tidak sesuai pendidikan yang ditempuh, misalnya sekolah di jurusan elektro listrik, tetapi ditempatkan di kapal. Anak-anak korban penipuan tersebut juga dieksploitasi dengan bekerja selama 18 jam sehari. 

"Istirahatnya sangat sedikit. Visa kunjungan juga tak terpantau KBRI dan Kemenlu," kata Retno.

3. KPAI segera koordinasi dengan Kemenlu dan Kemendikbud

KPAI pun mengimbau Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) turut melakukan pemantauan. Selain itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga harus bertanggung jawab. 

"Jika ada pengiriman anak ke luar negeri, harus ada koordinasi antarkementerian. Perusahaan-perusahaan yang direkomendasikan oleh Kemendikbud akan mudah dipantau KBRI dan diberikan perlindungan. Kami akan melakukan koordinasi dengan Kemendikbud dan Kemenlu secepatnya terkait program magang palsu ini," ujarnya. 

sumber IDN Times





Berita Terkait

Tulis Komentar