Stok Merosot di Luar Perkiraan, Harga Minyak Melejit

  • Kamis, 22 Maret 2018 - 07:53:02 WIB | Di Baca : 1290 Kali

SeRiau - Harga minyak mentah dunia menyentuh level tertingginya dalam enam pekan terakhir pada perdagangan Rabu (21/3), waktu Amerika Serikat (AS). Loncatan harga dipicu oleh merosotnya persediaan minyak mentah AS di luar perkiraan.

Tak hanya itu, tingginya kepatuhan terhadap kesepakatan pemangkasan produksi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), dan kekhawatiran kesepakatan nuklir Iran juga menjadi sentimen pendukung kenaikan harga minyak. 

Dilansir dari Reuters pada Kamis (22/3), harga minyak mentah Brent berjangka terkerek US$2,05 atau sekitar tiga persen menjadi US$9,47 per barel, hampir mendekati level tertinggi dalam tujuh minggu terakhir.

Lonjakan harga juga terjadi pada harga minyak mentah AS berjangka West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$1,63 atau 2,6 persen menjadi US$65,17 per barel, tertinggi sejak 2 Februari 2018.

Kenaikan tersebut membawa kedua harga acuan ke area pembelian berlebih (overbought) untuk pertama kali sejak Januari lalu, dan mendongkrak premi Brent awal bulan terhadap WTI ke level tertingginya sejak awal Februari.

Data Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) yang dirilis Rabu pagi waktu setempat memberikan kejutan dengan berkurangnya stok minyak mentah AS sebesar 2,6 juta barel. Sebelumnya, para analis memperkirakan persediaan minyak AS bakal melejit 2,5 juta barel.

President Ritterbusch & Associates Jim Ritterbusch mengungkapkan penurunan stok minyak AS dipengaruhi beberapa hal.

"Impor minyak mentah yang turun 500 ribu barel per hari (bph) berkontribusi terhadap turunnya pasokan. Kami melihat operasional kilang naik lebih dari ekspektasi sekitar 400 ribu bph sehingga menghabiskan banyak persediaan minyak mentah. Ekspor juga sedikit naik," ujar Ritterbusch.

Harga minyak juga dipengaruhi kebijakan bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) yang menaikkan suku bunga acuannya pada Rabu kemarin dan memproyeksikan dua kali kenaikan lagi untuk tahun ini.

"Setelah pertemuan The Fed, kurs dolar berada di bawah tekanan dan itu akan berkorelasi terbalik dengan harga minyak mentah," ujar Direktur Energi Berjangka Mizuho Bob Yawger di New York.

Jatuhnya kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang lain membuat harga komoditas menjadi relatif lebih murah dibandingkan pemegang mata uang lain.

Di saat bersamaan, OPEC menyatakan anggota dan sekutunya mencapai level tertinggi dalam pemangkasan produksi untuk mengurangi pasokan pasar global pada Februari lalu.

Selanjutnya, kekhawatiran terhadap AS yang bisa mengenakan sanksi kembali kepada Iran semakin meningkat.

Konsultan Energi FGE menyatakan sanksi baru AS terhadap Iran dapat menyebabkan penurunan ekspor Iran sebesar 250 ribu hingga 500 ribu bph pada akhir tahun. Saat sanksi tersebut diangkat, sekitar awal 2016, ekspor minyak mentah berkisar dua juta hingga 2,2 juta bph.

Kekhawatiran terhadap kondisi bearish sebagian besar dipicu oleh kenaikan produksi minyak mentah AS.

Selain memperlihatkan data persediaan minyak mentah, data EIA pada Rabu (21/3) lalu, juga menunjukkan tingkat produksi mingguan minyak mentah yang mencetak rekor tertinggi AS.

"Sejauh ini, pasar agak mengabaikan kenaikan produksi," ujar Ritterbusch.

"Kami (AS) sekarang memiliki produksi (minyak mentah) di atas 10,4 juta bph dan akan terus naik, dan pasar secara bertahap harus memperhitungkan hal itu," imbuhnya. (*JJ)



Sumber: CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar