KontraS: Jokowi Beri Tempat Strategis Bagi Pelanggar HAM

  • Senin, 19 Maret 2018 - 18:16:03 WIB | Di Baca : 2370 Kali

SeRiau – Cita-cita reformasi 1998 dipandang semakin jauh dari pencapaiannya, padahal sudah 20 tahun berjalan, tapi pemenuhan janji-janji reformasi tampak semakin terjal dan penuh dengan ketidakpastian. 

Pandangan tersebut disampaikan oleh Koordinator KontraS Yati Andriyani. Ia menuturkan pandangannya dalam Catatan Reflektif 20 Tahun KontraS di Jakarta, Senin, 19 Maret 2018.

Bahkan, ditegaskan Yati, kini di tahun ke-4 pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, yang ada malah menambah persoalan menjadi semakin pelik dan terjal. Penegakan hukum kian melemah, penuh ketidakpastian, hingga impunitas yang semakin langgeng terjadi.

"Menjelang 20 tahun reformasi, pemerintahan Jokowi masih gagal dalam menindaklanjuti penanganan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu dan sejumlah agenda keadilan transisi lainnya," kata Yati Andriyani di kantor KontraS, Jakarta Pusat.

Menurut Yati, berdasarkan catatan KontraS, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM sebagai amanat konsitusi, reformasi, dan sejumlah peraturan perundang-undangan, tidak dilaksanakan oleh Presiden Jokowi karena tidak ada satu pun dari perkara-perkara tersebut yang diproses di Pengadilan HAM Ad Hoc. Yati menilai pemerintah gagal menemukan dan mengungkapkan di mana keberadaan para korban penghilangan paksa, dan 'menyembunyikan' keberadaan serta isi Dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir.

"Presiden juga tak menindaklanjuti janji ratifikasi Konvensi Internasional Penghilangan Orang Secara Paksa meskipun pemerintah Indonesia lebih dahulu menandatanganinya pada tahun 2010 silam. Ironisnya, Presiden Jokowi justru mengangkat dan memberikan tempat strategis bagi aktor-aktor penjahat HAM masa lalu dalam pemerintahannya," kata Yati.

Sebaliknya, ujar Yati, justru para korban pelanggaran HAM yang setiap hari Kamis sore berdiri di depan Istana Presiden untuk menagih keadilan melalui "Aksi Kamisan,” tak pernah digubris dan dipenuhi hak konstitusionalnya.

Dalam kesempatan yang sama, Badan Pengurus KontraS Jakarta, Ori Rahman, menuturkan bahwa memasuki dua dekade berdirinya KontraS, pihaknya mendapati sejumlah kasus pelanggaran HAM dan pembatasan kebebasan sipil terus terjadi dan berulang. Kematian aktivis HAM, Munir Said Thalib, disusul kasus kekerasan pembela HAM lainnya menjadi ancaman serius bagi demokrasi, kebebasan sipil dan jaminan hak atas keadilan.

Menurut Ori, lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga dapat dilihat dalam kasus Novel Baswedan, salah seorang penyidik KPK, yang diserang secara terbuka dengan menggunakan air keras.

Sudah 11 bulan sejak peristiwa ini terjadi, namun proses hukumnya tak pernah tuntas. Seiring dengan itu, berbagai perkara kriminalisasi, penyiksaan, penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan berbagai proses peradilan yang tidak jujur terus terjadi di masyarakat.

"Sementara konflik agraria, kekerasan dan pelanggaran HAM di sektor bisnis berjalan simultan dengan agenda agenda pembangunan pemerintah. Papua pun masih terus dihadapkan pada dominasi pendekatan keamanan, akses keadilan dan kebebasan sipil yang minim, termasuk keadilan sosial. Sementara Aceh ditinggalkan dengan janji penyelesaian pelanggaran HAM pada masa konflik yang tidak lagi menjadi perhatian pemerintah di tingkat nasional," kata Ori.

Kondisi tersebut, tekan Ori, diperburuk dengan benih-benih menguatnya watak otoritarianisme yang semakin nampak di era Presiden Jokowi. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah produk hukum yang mengancam HAM dan nilai nilai demokrasi seperti UU Ormas yang memberangus hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, RKUHP yang berorientasi pada upaya untuk mengkriminalisasi warga Negara, UU MD3 yang menempatkan legislatif sebagai super power control dan antikritik serta merusak sistem ketatanegaraan.

"KontraS mencatat sejak 2014, ada sekitar 13 peraturan perundang-undangan bermasalah yang dikeluarkan di era Pemerintahan Jokowi-JK," kata Ori.

Badan Pengurus KontraS Jakarta, Usman Hamid juga memberikan pandangan. Menurutnya dalam konteks reformasi sektor keamanan, janji Presiden Jokowi untuk merevisi UU Peradilan Militer juga tidak pernah terwujud.

"Faktanya, pemerintahan Jokowi justru mengeluarkan kebijakan dalam menentukan perwira tinggi TNI/Polri untuk menempati jabatan sipil, penerbitan MoU antara TNI/Polri dengan institusi sipil, pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme secara langsung, dan keterlibatan TNI dalam kasus hukum masyarakat sipil," kata Usman.*#

Sumber: vivanews.com





Berita Terkait

Tulis Komentar