Data 50 Juta Pengguna AS Bocor, Facebook Hadapi Kritik Keras

  • Ahad, 18 Maret 2018 - 22:34:04 WIB | Di Baca : 1175 Kali

SeRiau - Facebook Inc menghadapi seruan baru dan berondongan pertanyaan tentang perlindungan data pribadi pada Sabtu (17/3) waktu setempat. Kongres Amerika Serikat (AS) mendesak adanya peraturan baru untuk mengantisipasi peristiwa kebocoran data.

Dikutip dari Reuters, hal itu terjadi setelah laporan sebuah konsultan politik mendapat akses yang tidak selayaknya ke sebanyak 50 juta data pengguna mulai 2014 lalu. 

Facebook mengungkapkan masalah ini dalam sebuah unggahan blog pada Jumat (16/3), beberapa jam sebelum laporan media Cambridge Analytica yang konservatif diberi akses ke data dan mungkin tidak menghapusnya.

Cambridge Analytica merupakan perusahaan sektor data yang dikenal dengan karena bantuannya dalam kampanye Donald Trump pada Pemilu 2016 silam. Namun seorang pejabat kampanye Trump menyatakan mereka menggunakan sumber data para pemilih yaitu simpatisan Partai Republik, bukan Cambridge Analytica.

Pemeriksaan tersebut menghadirkan ancaman baru terhadap reputasi Facebook. Hal itu terjadi setelah beberapa waktu lalu sempat diserang atas dugaan penggunaan perangkat Facebook oleh warga Rusia untuk mempengaruhi pemilih sebelum dan sesuai proses pemilu AS pada 2016.

"Sudah jelas platform ini tidak bisa melindungi diri mereka sendiri," ujar Senator Partai Demokrat Amy Klobuchar dalam akun Twitter miliknya menanggapi situasi yang terjadi tersebut.

"Mereka bilang 'percaya pada kami'. Namun Mark Zuckerberg perlu memberi kesaksian di depan peradilan senat," lanjutnya, mengacu pada CEO Facebook dan komite yang ia jabat.

Facebook mengatakan sumber persoalannya adalah para periset dari Cambridge Analytica berbohong dan menyalahgunakan kebijakannya. Namun para kritikus juga melemparkan kesalahan pada Facebook, menuntut jawaban mengatasnamakan pengguna dan mendesak diterbitkannya peraturan baru. 

Sementara itu, Facebook bersikeras bahwa data tersebut tidak dicuri, melainkan disalahgunakan, karena pengguna memberi izin. Itu pun memicu perdebatan tentang definisi peretas yang harus diungkapkan kepada pelanggan.

Melihat itu Profesor bidang Hukum Universitas Maryland Frank Pasquale menilai tanggapan Facebook bahwa data yang secara teknis tidak dicuri sepertinya mengaburkan masalah utama, yakni bahwa data tersebut ternyata digunakan dengan cara yang bertentangan dengan harapan pengguna. 

"Hal yang mengherankan bahwa mereka mencoba membuat nomenklatur, saya kira hal itu yang mereka tinggalkan," katanya.

Di satu sisi, Senator Partai Demokrat Mark Warner menuturkan episode tersebut memperkuat kebutuhan akan peraturan baru tentang iklan internet yang menggambarkan industri ini sebagai 'Wild West'.

"Entah itu mengizinkan orang Rusia untuk membeli iklan politik, atau penargetan secara mikro yang luas berdasarkan data pengguna yang buruk. Jelas bahwa jika tidak diatur, pasar ini akan terus rentan terhadap penipuan dan kurang transparan," ucapnya.

Namun, dengan para anggota Partai Republik yang menguasai mayoritas senator tidak dapat memastikan apakah Klobuchar dan Warner akan menang.

Sebelumnya, New York Times dan Observer London melaporkan informasi pribadi terhadap lebih dari 50 juta pengguna Facebook telah berada di tangan Cambridge Analytica dan disalahgunakan. Informasinya pun belum dihapus, meski ada tuntutan Facebook mulai 2015. 

Sebanyak 270.000 orang mengizinkan penggunaan data mereka oleh seorang peneliti, yang juga menghapus data dari semua teman mereka, sebuah langkah yang diizinkan Facebook sampai 2015. Seperti dilansir Reuters, dua media massa itu menulis bahwa peneliti menjual data tersebut ke Cambridge yang bertentangan dengan peraturan Facebook. 

Sumber CNN Indonesia

 





Berita Terkait

Tulis Komentar