Saatnya mengusut bisnis sampingan anggota polisi

  • Selasa, 06 Maret 2018 - 11:33:49 WIB | Di Baca : 1274 Kali

SeRiau - Dugaan bisnis sampingan yang dilakoni anggota kepolisian terbuka setelah kasus penggunaan helikopter Polri yang disewa oleh pengantin di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Helikopter itu bukanlah milik Polda Sumatera Utara, melainkan Baharkam Mabes Polri.

Awalnya, polisi bersikeras menyebut helikopter itu tidak digunakan oleh pengantin. Polisi berdalih helikopter itu tengah diuji coba karena mengalami kerusakan radio. Padahal, alam tiga video yang diterima merdeka.com, dengan masing-masing durasi yaitu 24 detik, 1 menit 20 detik dan 30 detik. Terlihat dengan jelas bahwa dalam video yang berdurasi 24 detik itu sepasang pengantin turun dari sebuah helikopter yang diduga milik Polda Sumatera Utara dengan tulisan polisi di badan heli tersebut diganti menjadi F & T.

Penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi ini dipersoalkan lantaran melanggar Peraturan Direktur Kepolisian Udara Baharkam Polri Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penggunaan unsur Operasional Kepolisian Udara. Dalam Pasal 5 aturan itu disebutkan, penanggung jawab unsur pelaksanaan tugas di Bawah Kendali Operasi (BKO) tingkat Polda berada di bawah Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) langsung.

Lebih lanjut diatur dalam Pasal 7. Disebutkan bahwa kegiatan operasional penerbangan di Polda seperti dalam tugas kegiatan operasional penerbangan, harus dan atas izin Kapolda melalui Kepala Biro Operasional. Dalam kegiatan penerbangan yang sifatnya dukungan, kegiatan di luar dari konteks operasi kepolisian, harus izin Kapolda melalui Kepala Biro Operasional.

Kenyataannya, ada permainan nakal yang diduga dilakukan oleh pilot Iptu T dan kopilot Iptu WS. Keluarga mempelai ternyata membayar Rp 120 juta demi bisa menggunakan fasilitas helikopter POlri. Ada peran broker dalam kasus ini. Sang broker menghubungi seseorang berinisial A yang mengenal kopilot WS. Pilot Iptu T dan kopilot Iptu WS diyakini menerima uang dari hasil sewa helikopter itu.

Sanksi menanti kedua anggota polisi itu. Sebab, dalam pelaksanaan tugas, anggota Polri dilarang menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Ini mengacu Pasal 6 huruf d mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin anggota Polri.

"Kasus ini puncak dari gunung es. Penyalahgunaan fasilitas negara untuk dikomersilkan pada masyarakat itu sudah menjadi rahasia umum," ungkap pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto saat berbincang dengan merdeka.com, semalam.

Polri harus membuktikan diri sanggup berbenah. Kasus ini seharusnya dijadikan pintu masuk untuk mengungkap bisnis sampingan yang kerap dijalankan anggota polisi. Bahkan, ada bisnis yang lebih besar mendatangkan uang.

"Yang lebih besar lagi sebenarnya di industri jasa pengamanan. Berapa personel yang dikaryakan di luar dinas? Itu juga harus dibuka. Jangan setengah-setengah," tegasnya.

Bambang mendorong korps Bhayangkara untuk berbenah. Institusi Polri telah memiliki tim khusus yang fokus pada pungutan liar. Tim saber pungli diharapkan bisa tegas untuk menindak internal Polri yang mencari uang dari bisnis sampingan dengan menggunakan fasilitas negara.

"Dan itu yang juga seharusnya jadi fokus Saberpungli. Uang sewanya itu masuk kemana?" katanya.

Citra Polri di mata publik bisa buruk jika persoalan bisnis sampingan semacam ini tidak disikapi. Penyelesaiannya pun diharapkan dilakukan secara terbuka.

"Harus diusut tuntas, dan dibuka ke publik biar tidak menjadi preseden negatif ke depannya," ucapnya.

Untuk diketahui, Polda Sumut menyampaikan hasil klarifikasi dugaan penggunaan helikopter Polri pada resepsi pernikahan di Pematang Siantar. Kejadian itu dinyatakan sebagai tindakan pribadi pilot dan kopilot.

Tim klarifikasi yang dibentuk Polda Sumut menemukan fakta peristiwa ini bermula dari upaya pihak perwakilan pengantin bernama RG untuk menggunakan helikopter dalam resepsi pernikahan anaknya di Pematang Siantar, Minggu (25/2). RG menggunakan jasa broker untuk mencarikan helikopter komersil. Namun heli tersebut ternyata rusak.

RG yang merasa sudah membayar kepada broker tetap menuntut heli harus ada. Broker pun menghubungi seseorang berinisial A yang ternyata mengenal Iptu W, kopilot heli Baharkam Polri yang di-BKO-kan di Polda Sumut. Iptu W kemudian menyampaikan permintaan A kepada pilot Iptu T. Dia ternyata menyatakan mau membantu.

Saat kejadian, heli itu dibawa terbang dari Medan menuju Lapangan Subden Brimob di Pematangsiantar. Dari sanalah pasangan pengantin diterbangkan menuju Lapangan H Adam Malik, Pematangsiantar.

(sumber Merdeka.com)

 





Berita Terkait

Tulis Komentar