SARA dan hoaks: mengapa bisa begitu laku sebagai komoditi politik?

  • Ahad, 25 Februari 2018 - 05:28:45 WIB | Di Baca : 1284 Kali

SeRiau - Kemungkinan besar perbedaan identitas agama dan etnis masih akan dipakai di Pilkada serentak tahun 2018 dan Pemilihan Presiden 2019.

Isu Suku Agama Ras dan Antar golongan (SARA) yang diantaranya disampaikan lewat berita bohong (hoaks) ini memang telah digunakan sejak beberapa tahun ini, kata Veri Junaidi, ketua KoDe Inisiatif.

"Kalau melihat praktek di 2017 yakni DKI Jakarta dan juga beberapa statement kelompok-kelompok yang banyak terlibat di Pilkada 2017, memang ada kecenderungan untuk menggunakan isu SARA di dalam proses Pilkada 2017.

Pada Pilkada Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang sebelumnya dipandang kuat posisinya, akhirnya dikalahkan Anies Baswedan.

Sebelum kasus al Maidah di Pulau Seribu, Ahok dipandang sangat kuat, tetapi akhirnya dia dikalahkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Tetapi Djayadi Hanan dari Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) memandang penggunaan isu SARA secara besar-besaran masihlah suatu kemungkinan.

"Di semua provinsi, potensi penggunaan isu SARA menjadi rendah sekarang. Jadi kita tidak bisa mengatakan ada provinsi yang menggunakan, ada yang tidak. Kan belum terjadi. Kan kita baru melihat potensi. Sampai hari ini belum terjadi dalam skala yang masif atau yang dilaporkan terjadi," kata Djayadi.

Kalimantan Barat

Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) mengeluarkan laporan pada tanggal 21 Februari yang menyebutkan isyu SARA kemungkinan akan juga digunakan di Kalimantan Barat, sama seperti di Jakarta.

"Para pembuat masalah akan terpusat pada sejumlah tempat, dan perpecahan suku dan agama lebih lentur dibandingkan pandangan selama ini," tulis pengamat IPAC, Deka Anwar.

Sebagian pihak memandang kecenderungan penggunaan politik identitas ini terkait dengan kemajemukan masyakarat di Kalbar.

"Di Kalimantan Barat pemilih Muslimnya ada sekitar 60%, pemilih non Muslimnya ada sekitar 40%. Kemungkinan calon Muslim akan lebih banyak mendapat dukungan dari kalangan pemilih Muslim. Calon non-Muslim, dukungannya akan terpecah. Sehingga isu-isu agama seperti 'Pilihlah Muslim, Bukan Non-Muslim' atau sebaliknya, itu tidak akan terlalu kencang berhembus," kata Djayadi dari SMRC.

SARA dan Hoaks

Penggunaan identitas agama dan etnis ini dipandang semakin kuat sejak tahun 2014 setelah semakin berpengaruhnya berita bohong yang beredar di media sosial seperti Facebook, Whats App, BBM dan Instagram misalnya.

Strategi politik seperti ini membuat masyarakat yang sebelumnya cukup toleran, menjadi terpicu hoaks yang disampaikan secara terus-menerus, terutama terkait berbagai masalah peka, kata Veri Junaidi.

"Isu-isu SARA digunakan. Dia tidak berdiri sendiri sebenarnya, tetapi dia diusung dan digunakan dengan menggunakan pemberitaan bohong atau hoaks. Jadi kalau misalnya orang terbuka terkait dengan agama, pada awalnya mungkin bisa sangat toleran terhadap agama.

"Tetapi kemudian ketika isu-isu itu dibungkus dengan berita bohong, masyarakat akan dengan mudah tersulut karena itu kan sebenarnya isyu yang sangat sensitif bagi masyarakat," kata Veri dari KoDe Inisiatif.

Temuan IPAC juga menyatakan hal yang sama. Dalam laporannya lembaga pemikir ini menyatakan:

"Berita palsu dan bohong di media sosial juga dapat menimbulkan masalah, terutama jika pernyataan provokatif bernada keagamaan menimbulkan ketegangan di sejumlah daerah terpencil yang sulit dijangkau polisi. Pada akhirnya para calon yang dapat menentukan untuk menjamin para pendukungnya tidak menunjang terjadinya polarisasi suku dan agama."

Langkah Hukum atau Politik?

Saat ini posisi Presiden Joko Widodo, sebagai petahana, seharusnya lebih kuat, tidak hanya dengan tingkat elektabilitas di sekitar 50%.

Djayadi Hanan dari SMRC memandang keefektifan penggunaan isu SARA pada pemilihan presiden 2019 tidak akan sebesar pilpres sebelumnya karena para pemilih sudah lebih mengenalnya.

"Jokowi adalah calon yang relatif sudah dikenal oleh publik sehingga tidak mudah untuk mendapatkan isu-isu, yang katakanlah fitnah misalnya, yang mengatakan dia non Muslim misalnya, dia Kristen diam-diam. Meskipun kemungkinan akan tetap dipakai, tidak akan mudah untuk berpengaruh karena orang relatif, lebih banyak orang yang tahu Jokowi saat ini," katanya.

Yang kemungkinan menjadi masalah bagi Jokowi bukanlah SARA, tetapi kinerjanya terkait ekonomi seperti proyek infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. (*JJ)




Sumber: BBC Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar