Hujan Bom Hantam Ghouta, Dunia Lamban Menanggapi

  • Sabtu, 24 Februari 2018 - 12:19:09 WIB | Di Baca : 1329 Kali

SeRiau - Serangan udara Suriah dan tembakan artileri menyerang daerah kubu Ghouta Timur yang dikuasai pemberontak, pada Jumat 23 Februari. Akibatnya beruntun menewaskan 38 warga sipil.

Saat bersamaan, negara-negara kuat dunia berupaya mencapai kesepakatan PBB demi menghentikan pembantaian tersebut.

Lebih dari 460 warga sipil, termasuk 100 lebih anak-anak, terbunuh dalam hampir satu pekan pengeboman. Serbuan ini merupakan salah satu episode paling berdarah selama tujuh tahun perang saudara.

Alotnya tawar-menawar diplomatik menunda pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB guna memutuskan sebuah gencatan senjata 30 hari. Duta Besar Kuwait, Mansour al-Otaibi, yang memegang jabatan presiden dewan tersebut, berkata ‘kami hampir’ mencapai kesepakatan dengan Rusia, sekutu Suriah.

Dewan Keamanan dijadwalkan bertemu pada siang Sabtu 24 Februari. Pertemuan memungut suara pada rancangan resolusi yang menuntut gencatan senjata 30 hari. Namun tetap tidak jelas apakah Rusia akan memveto tindakan yang diusulkan ini.

Di tengah perselisihan tersebut, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengecam tindakan pemerintah Suriah dan pendukung Rusia dan Iran sebagai "aib kemanusiaan".

Sedikitnya dari hampir 400.000 warga Ghouta Timur -- kebanyakan tinggal di sebuah kota yang tersebar di daerah semi-pedesaan di sebelah timur ibukota -- pada keluar rumah, Jumat.

Koresponden AFP di Douma, kota utama di daerah kantong itu, melihat beberapa orang dengan sembunyi-sembunyi menyeberangi jalan-jalan berpuing-puing buat menilai kerusakan pada properti mereka atau mencari makanan dan air.

Pengeboman berlangsung tanpa henti sejak pemerintah dan pasukan sekutu mengintensifkan kampanye mereka, pada Minggu lalu. Tembakan roket segera memaksa semua orang untuk melarikan diri.

Sejumlah keluarga yang kelelahan dan kelaparan meringkuk di ruang bawah tanah yang sempit dan lembab. Saling bertukar informasi tentang korban terbaru dari ledakan pemerintah.

Jasad-jasad terperangkap

Serangan baru-baru ini oleh rezim Suriah dan sekutunya Rusia, menewaskan setidaknya 38 warga sipil. Termasuk 11 anak-anak, menurut pemantau Syrian Observatory for Human Rights (SOHR).

Kematian terakhir mencapai 468 -- di antaranya 108 anak -- sejak eskalasi pengeboman wilayah yang terkepung pada 18 Februari. Lebih dari 2.000 orang terluka.

Pemberontak membalas dendam ke ibu kota Damaskus. Di sana, sebuah rumah sakit dihantam ledakan, kata kantor berita resmi Suriah SANA.

Di PBB, Duta Besar AS Nikki Haley menyatakan cemas saat perundingan macet demi mendapatkan persetujuan Rusia atas gencatan senjata yang mengizinkan pengiriman bantuan kemanusiaan dan evakuasi medis.

Rusia telah memveto 11 rancangan resolusi di Suriah untuk memblokir tindakan yang menargetkan sekutunya di Damaskus. Pada November, Rusia menggunakan hak veto buat mengakhiri penyelidikan yang dipimpin PBB atas serangan senjata kimia di Suriah.

Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Prancis Emmanuel Macron menulis surat kepada Putin. Mereka memintanya memberlakukan kembali gencatan senjata.

Negosiasi sudah menemukan sebuah ketentuan kunci dari rancangan resolusi yang memastikan kapan gencatan senjata dimulai.

Setelah beberapa jam perundingan alot, sebuah rancangan resolusi yang disahkan beredar, yang menuntut gencatan senjata 30 hari ‘tanpa penundaan’, sambil berhenti menentukan waktunya.

Sebagai konsesi lain ke Rusia, rancangan tersebut juga menetapkan bahwa gencatan senjata tidak akan berlaku untuk operasi melawan kelompok militan Islamic State (ISIS) atau Al-Qaeda. Bersama dengan "individu, kelompok, usaha, dan entitas yang terkait" dengan kelompok teror.

Para pemimpin dunia menyatakan kemarahan atas penderitaan warga sipil di Ghouta Timur. Sekjen PBB Antonio Guterres menyebut "neraka di bumi". Namun sejauh ini dia tidak berdaya menghentikan pertumpahan darah.

"PBB mengatakan bahwa mereka khawatir dan menyerukan gencatan senjata, Prancis mengecam, tapi mereka tidak memberi kami apa-apa," kata Abu Mustafa, warga sipil yang berkeliaran di jalan kota Douma, Jumat pagi.

Daerah tersebut dikuasai ISIS dan gerilyawan sejak 2012. Kelompok pemberontak utama di Ghouta Timur menolak kesepakatan yang akan membuat mereka atau warga lainnya pindah.

"Kami menolak setiap inisiatif yang memungkinkan penghuni meninggalkan rumah mereka dan dipindahkan ke lokasi lain," kata mereka dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Guterres, seperti dikutip AFP, Sabtu 24 Februari 2018.

Kawasan ini benar-benar dikepung wilayah yang dikuasai pemerintah. Para penduduknya tidak mau atau tidak dapat melarikan diri dari pengepungan yang mematikan.

Lebih dari 340.000 orang terbunuh dan jutaan orang terusir dari rumah-rumah mereka dalam perang Syria. Bulan depan, kecamuk pertempuran memasuki tahun kedelapan tanpa akhir yang pasti.

 


sumber Metrotvnews.com





Berita Terkait

Tulis Komentar