SPD: Proses Belajar Mengajar di Masa Pandemi Covid-19 Harus Dievaluasi


SeRiau - Proses belajar mengajar yang dilakukan sekolah-sekolah di tengah pandemi Covid-19 harus segera dievaluasi pemerintah. Ada banyak keluhan dari orang tua murid atas berbagai kesulitan yang mereka hadapi terkait pola belajar-mengajar yang diterapkan.

Keluh kesah tersebut banyak tersebar di media sosial. Seorang siswa SMPN di Rembang,  Dimas Ibnu Alias, misalnya, terpaksa belajar di sekolah sendirian akibat tidak memiliki smartphone untuk mengikuti pelajaran dari sekolah.

“Kasus seperti Dimas ini diyakini banyak di berbagai daerah di Indonesia. Sebab, ada banyak warga masyarakat yang tidak bisa mengakses internet. Terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok dan daerah-daerah perbatasan,” ujar Plh. Ketua Fraksi PAN DPR RI, Saleh Daulay Partaonan, dalam perbincangan dengan redaksi.

Keluhan terkait proses belajar mengajar ala Pandemi Covid-19 ini paling banyak dirasakan ibu-ibu rumah tangga. Sebab, merekalah yang tinggal di rumah dan mengawasi kegiatan belajar mengajar anak-anaknya. Para suami, biasanya pergi bekerja untuk mencari nafkah keluarga.

Wakil Ketua Majelis Kehormatan Dewan (MKD) itu mencatat sejumlah keluhan.

Pertama, tidak memiliki smartphone atau komputer untuk mengakses pembelajaran dari sekolah. Selain itu, ada banyak keluarga yang tidak mampu membeli kuota internet untuk online. Kalaupun ada, mereka tidak bisa memakainya setiap hari karena keterbatasan budget.

“Bayangkan kalau anak yang sekolah 3 atau 4 orang di keluarga tersebut. Itu berarti, orang tuanya harus membeli 3 atau 4 alat smartphone atau komputer. Kuota internet yang dibutuhkan pun pasti akan lebih besar,” ujar mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah ini.

“Belum lagi saat belajar, ketika anak yang satu minta dibantu, anak yang lainnya sudah memanggil ibunya untuk mengerjalam hal lain. Dan perlu diingat, tidak semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah itu semuanya dapat dipahami oleh orang tua murid. Selain itu, ada banyak PR yang harus dikerjakan. Praktis, dengan pola belajar seperti ini, orang tua siswa dipastikan akan menghabiskan waktu untuk mengurus pelajaran-pelajaran anak-anaknya. Padahal, urusan rumah tangga bukan hanya soal sekolah, tetapi ada banyak hal lain yang mungkin lebih kompleks,” sambungnya menguraikan.

Kedua, anak-anak yang belajar di rumah sering sekali kurang tertib. Sebab, aturan yang selama ini diberlakukan di sekolah, tidak semuanya bisa dilaksanakan di rumah. Tidak jarang, anak-anak banyak yang belajar tidak fokus.

“Bagi yang punya smartphone dan komputer, sering juga disalahgunakan anak-anak. Di sela-sela proses belajar mengajar itu, mereka juga bermain game. Kalau dulu orang tua dinasehati untuk tidak memberi smartphone pada anak, sekarang ini orang tua malah dituntut untuk menyiapkannya. Ini sangat dilematis dan perlu dicarikan solusinya,” kata anggota Komisi IX DPR RI ini lagi.

Ketiga, ada banyak pelajaran yang memerlukan praktikum dan juga praktik lapangan. Katakanlah, misalnya, pelajaran biologi, kimia, dan fisika. Pelajaran-pelajaran tersebut sering sekali harus dengan praktikum. Dengan belajar jarak jauh, praktikum itu akan terkendala.

“Pelajaran olah raga juga begitu. Kalau di sekolah, siswa-siswi kan juga bisa langsung berolahraga di lapangan. Guru langsung mengajari murid. Sekarang ini, olah raga tersebut tentu akan sulit diterapkan,” katanya lagi.

Walaupun pola belajar mengajarnya seperti yang dijelaskan di atas, namun demikian tidak berpengaruh pada pembayaran SPP. Terutama anak-anak yang belajar di sekolah swasta. Biaya yang dikeluarkan tetap sama.

“Padahal, proses belajar mengajar yang dilakukan sebagian besar sudah menjadi tanggung jawab orang tua. Ini kan tentu tidak adil bagi para orang tua siswa,” demikian Saleh Daulay Partaonan. (**H)


Sumber: rmol.id