Serangan Udara Suriah Tewaskan Lebih dari 100 Warga Sipil


SeRiau - Lebih dari 100 orang, termasuk 26 anak-anak tewas dalam serangan udara di Suriah dalam 10 hari terakhir. Serangan udara tersebut menyerang sejumlah fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolah, pasar, dan toko roti.

Kepala Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Michelle Bachelet menyesali serangan di daerah yang dikuasai pemberontak terhadap pemerintah dan sekutunya. Suriah dan sekutunya, Rusia, menyangkal telah menargetkan warga sipil dalam serangan udara di Idlib.

"Serangan ini adalah ketidakpedulian internasional yang nyata. Ini adalah kegagalan kepemimpinan oleh negara-negara paling kuat di dunia," ujar Bachelet, dilansir BBC, Sabtu (27/7).

Bachelet menambahkan, meningkatnya jumlah korban tewas di Idlib telah membuat konflik ini lepas dari radar internasional. Sementara, Dewan Keamanan PBB tidak bisa berbuat lebih banyak. Dia memperingatkan bahwa pihak yang sengaja melakukan serangan terhadap warga sipil dapat didakwa dengan kejahatan perang.

"Serangan yang disengaja terhadap warga sipil adalah kejahatan perang, dan mereka yang telah memerintahkan atau melaksanakannya bertanggung jawab secara pidana atas tindakan mereka," kata Bachelet.

Provinsi Idlib, Hama, dan Aleppo barat merupakan salah satu benteng oposisi terakhir di Suriah setelah delapan tahun perang saudara. Pekan lalu, PBB melaporkan lebih dari 350 warga sipil tewas dan 330 ribu lainnya terpaksa mengungsi dari rumah mereka sejak perang meningkat pada 29 April lalu.

Namun jumlah tersebut sudah direvisi, dengan jumlah korban tewas yang bertambah 103 orang dalam sepuluh hari terakhir. Sementara, penduduk yang mengungsi diperkirakan lebih dari 400 ribu orang.

Pemerintah Suriah, yang didukung oleh angkatan udara Rusia mengatakan, peningkatan serangan terjadi akibat pelanggara gencatan senjata yang berulang kali oleh kelompok al qaidah. Sementara Rusia membantah laporan bahwa mereka melakukan serangan udara di pasar dan daerah perumahan yang menewaskan 31 warga sipil.

Sebelum konflik Suriah pecah, sebagian besar penduduk mengeluhkan tentang tingkat pengangguran yang tinggi, korupsi, dan tidak ada kebebasan politik di bawah pemerintahan Presiden Bashar al-Assad. Pada Maret 2011, demonstrasi kelompok pro-demokrasi meletus di selatan kota Deraa. Demo terinspirasi oleh Arab Spring di negara-negara tetangga.

Aksi protes yang menuntut pengunduran diri presiden meletus secara nasional. Kerusuhan menyebar dan penindasan semakin intensif. Pendukung oposisi mulai mengangkat senjata untuk membela diri.

Ketika itu, Assad bersumpah akan menghabiskan segala bentuk terorisme yang didukung oleh asing. Kekerasan di Suriah meningkat dengan cepat, hingga menjadi perang saudara. (**H)


Sumber: REPUBLIKA.CO.ID