KPK Tegaskan Kasus BLBI Belum lewat Batas Waktu



SeRiau - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan kasus korupsi Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjerat pemegang saham obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya belum daluwarsa atau lewat waktu.

"Sebenarnya kasus BLBI ini cukup jelas ya dari aspek konstruksi hukum putusan hakim khususnya untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung dan di persidangan itu sangat jelas bahwa kasus ini belum daluwarsa," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/6). 

Febri mengatakan, kasus BLBI memiliki waktu terjadinya tindak pidana atau tempus deliciti pada 2004 atau saat SKL diterbitkan oleh BPPN. Hal itu, kata Febri, meski terdapat rangkaian peristiwa sebelum dan setelah SKL BLBI dikeluarkan.

Disebutkan di Pasal 78 ayat (1) angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, memiliki masa daluwarsa selama 18 tahun. Atas dasar itu, KPK meyakini proses hukum kasus dugaan korupsi SKL BLBI yang menjerat Sjamsul sah dan sesuai dengan hukum acara yang berlaku. 

"Kalau kita hitung daluwarsa 18 tahun, maka 18 tahun itu dihitung sejak tahun 2004 tersebut, di mana Syafruddin Arsyad Temenggung diduga bersama-sama dengan tersangka yang sudah kita tetapkan saat ini," ujar Febri. 

"Termasuk juga belum daluwarsa karena aturannya sangat jelas daluwarsa adalah 18 tahun dan itu bisa dihitung dari tahun 2004 misalnya ketika SKL itu terbit," ucap Febri. 

Terpisah, Advokat Otto Hasibuan menilai kasus SKL BLBI yang menjerat Sjamsul telah daluwarsa. Sebab, KPK mengaitkan SKL yang diterbitkan tahun 2004 dengan misrepresentasi yang diduga dilakukan Sjamsul atas utang petambak pada 1998 saat Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA). 

"Jadi sudah 21 tahun. Karena sudah daluwarsa, maka kasus ini tidak boleh dilanjutkan," katanya. 

Otto sendiri menerima kuasa sebagai kuasa hukum Sjamsul terkait gugatan perdata di Pengadilan Negeri Tangerang. Ia pun mempertanyakan misrepresentasi yang disangkakan KPK kepada Sjamsul.

Ia menyebutkan, MSAA misrepresentasi itu harus dibuktikan terlebih dahulu di Pengadilan Perdata. Sebab MSAA sendiri merupakan perjanjian perdata.

Disebutkan juga dalam Letter of Statement tahun 1999, pemerintah berjanji dan menjamin tidak menuntut Sjamsul dalam bentuk apapun, termasuk tidak melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan secara pidana sebagaimana ditegaskan dalam Inpres nomor 8 tahun 2002.

"Apabila KPK menganggap misrepresentasi merupakan tindak pidana, maka hal itu pun tidak boleh lagi disidik dan dituntut karena sudah dijanjikan dan dijamin oleh pemerintah," kata dia. 

Sebelumnya, KPK telah resmi menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sjamsul diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp4,58 triliun dalam kasus ini.

Ia dan istrinya dijerat dengan pasal Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

 

 

 

 

Sumber CNN Indonesia