Membaca Arah Politik 'Dua Kelamin' Demokrat



SeRiau - Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Istana Kepresidenan memantik pertanyaan, apakah Demokrat akan pindah gerbong koalisi?

Pada Pilpres 2019, Demokrat berada dalam barisan koalisi pendukung Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Usai Pilpres, Demokrat diprediksi akan bermanuver dan kemungkinan merapat ke gerbong koalisi Jokowi-Ma'ruf.

Direktur Eksekutif Charta Politica Yunarto Wijaya tak heran jika AHY, atas nama Demokrat, mulai merapat ke Jokowi. Menurutnya, Demokrat dulu juga terpaksa bergabung dengan koalisi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno lantaran kala itu pintu sudah ditutup oleh koalisi Jokowi-Ma'ruf.

Kali ini, kata Yunarto, Demokrat ingin melanjutkan komunikasi yang dulu sempat terbangun untuk menjalin kerja sama. Bedanya, konteks kerja sama tidak lagi untuk menghadapi kompetisi, melainkan demi berada dalam satu payung kabinet 2019-2024.

"Pertemuan antara Jokowi dan AHY tidak ada yang aneh. Banyak yang menerka ujungnya akan seperti ini jika Jokowi menang," ucap Yunarto saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (2/5).

Berdasarkan hitung cepat sejumlah lembaga survei, pasangan Jokowi-Ma'ruf unggul atas Prabowo-Sandiaga. Namun, Prabowo-Sandiaga juga mengklaim menang dalam Pilpres berdasarkan hasil perhitungan internal tim Badan Pemenangan Nasional (BPN).

Yunarto menganggap Demokrat mengambil langkah yang tepat andai memutuskan bergabung menjadi bagian pemerintahan selanjutnya. Menurut Yunarto, popularitas AHY akan terkerek jika menjadi anggota kabinet.

Dengan begitu, Demokrat dapat memanen AHY yang sudah lebih populer untuk berkontestasi di Pilpres 2024. Setelah itu, tinggal memoles kembali dalam rangka meningkatkan elektabilitas. 

Demokrat, kata Yunarto, juga mesti berkaca dari sikapnya selama 2014-2019. Diketahui, Demokrat tidak menjadi oposisi yang keras. Mereka berada di tengah-tengah ketika Gerindra - PKS beradu narasi dengan PDIP dan koalisi pemerintah.

Saat Pemilu 2019 pun, banyak kader Demokrat di berbagai daerah yang justru mendukung paslon Jokowi - Ma'ruf. Ketua DPD Gerindra Jawa Timur Sukarwo salah satunya. Padahal Demokrat terdaftar sebagai anggota koalisi pengusung Prabowo - Sandi.

Sikap tersebut dinilai membuat Demokrat babak belur di Pemilu 2019. Perolehan suara pileg, berdasarkan hasil hitung cepat lembaga survei, Demokrat hanya mendapat sekitar 7-8 persen. Diprediksi akan berada di bawah PKB, PKS, dan NasDem.

"Sikap Demokrat selama ini, saya tidak ingin bilang seperti banci, tetapi dua kelamin secara politik. Mau tidak mau batu loncatan ya menjadi bagian dari kabinet," kata Yunarto.

Yunarto menganggap Demokrat tidak akan maksimal apabila menjadi oposisi pemerintahan Jokowi selanjutnya. Popularitas tidak akan meningkat signifikan hingga 2024 mendatang.

Menurut Yunarto, selama ini oposisi sudah identik dengan Gerindra, PKS serta alumni 212 dan ormas-ormas Islam seperti FPI. Oleh karena itu, Demokrat tidak akan terlalu dilihat perannya.

"Maka yang akan lebih terlihat adalah Gerindra dan PKS. Simbol oposisi kan bukan Demokrat," ucap Yunarto.

Sulit Bergabung 

Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, Demokrat lebih baik menjadi oposisi pemerintahan Jokowi - Ma'ruf 2019-2024 lantaran memiliki sumber daya serta mesin politik yang memadai.

"Justru kalau merapat ke pemerintah, Demokrat hanya akan menjadi buih di lautan. Dignity sebagai partai yang menang pilpres dua periode bakal hilang," kata Adi.

Adi mengatakan Demokrat juga akan sulit untuk bisa bergabung dengan koalisi Jokowi - Ma'ruf. Pertama, kendala hubungan yang kurang baik antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan SBY.

Kedua, Adi menilai Demokrat bakal tidak leluasa karena sudah begitu banyak partai lain berada dalam koalisi Jokowi - Ma'ruf. Mereka pun telah berpeluh berbulan-bulan lamanya memperjuangkan kemenangan Jokowi - Ma'ruf. Tidak seperti Demokrat yang selama ini bersama Prabowo - Sandi.

Ketiga, Adi menganggap PDIP juga sulit untuk menerima Demokrat menjadi bagian koalisi. Alasannya, PDIP tentu tidak ingin memberikan panggung untuk mengerek popularitas kepada calon lawannya di Pilpres 2024.

"PDIP sama saja memelihara 'anak macan' karena Demokrat dan AHY bisa membesar dan cukup potensial menjadi lawan tangguh di pemilu 2024," kata Adi.

Adi yakin AHY bisa mengerek popularitasnya dalam lima tahun ke depan tanpa harus menjadi anggota kabinet pemreintahan Jokowi - Ma'ruf. Menurutnya, Demokrat memiliki mesin politik yang memadai nan mumpuni untuk mengasah AHY hingga mengkilat.

"Gen dan DNA Demokrat sebagai partai besar tanpa harus berada di kekuasaan. Dengan catatan, AHY harus melakukan kerja-kerja politik secara intensif lima tahun mendatang juga," tutur Adi.

 

 


Sumber CNN Indonesia