Pemerintah Diminta Atasi Nikah Dini agar Indeks Manusia Baik


SeRiau - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pemerintah perlu mencari cara untuk mengatasi masalah perkawinan dini dan penurunan tingkat daya beli masyarakat. Cara tersebut diperlukan untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada masa mendatang. 

BPS mencatat realisasi IPM saat ini masih belum memenuhi target pemerintah yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Sebagai informasi, pemerintah dalam RPJMN mematok target IPM sebesar 71,5 persen pada 2018 dan 71,98 pada 2019. 

Tapi, sampai dengan 2018, IPM masih berada di angka 71,39. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan pemerintah belum bisa mencapai target tersebut karena pelaksanaan sejumlah program yang dijalankan pemerintah belum maksimal. Program tersebut antara lain, Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP).

"Sebenarnya terlihat ada penurunan angka pesakitan, jumlah akses rumah tangga terhadap air bersih itu naik, lalu ada KIS. Itu sebetulnya sudah, tapi implementasinya harus lebih tinggi lagi ke depan," ujarnya di Kantor BPS, Senin (15/4).

Sementara dari sisi KIP, menurutnya, program yang digagas Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu sejatinya sudah berhasil meningkatkan tingkat partisipasi sekolah anak-anak. Dengan program tersebut, jumlah anak-anak Indonesia yang menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun lalu telah mencapai 99,2 persen.

Sayangnya, tingkat partisipasi sekolah itu menurun seiring meningkatkan jenjang pendidikan. Pasalnya, tingkat partisipasi di pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) hanya mencapai 95 persen. 

Begitu pula dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan perguruan tinggi. "Angka partisipasi terus menurun untuk tingkat SMA dan perguruan tinggi, bahkan rata-rata hanya menyelesaikan hingga kelas IX," katanya.

Menurutnya, tingkat partisipasi sekolah anak-anak di Indonesia kian menurun pada tingkat pendidikan tinggi karena keterbatasan biaya dan akses. Selain itu, adapula peran keterbatasan sarana dan prasarana berupa infrastruktur pendukung.

Selain dari sisi kesehatan dan pendidikan yang sudah dan harus terus dimaksimalkan implementasinya, ia mengatakan ada dua indikator yang perlu diwaspadai pemerintah bila ingin mendongkrak IPM, yaitu tingkat perkawinan dini dan daya beli masyarakat. 

"Soal perkawinan dini, ini perlu agak perhatian karena perkawinan dini itu agak meningkat, dari sisi kesehatan perlu juga diperhatikan," katanya.

Menurutnya, tingkat perkawinan dini perlu diperhatikan karena mempengaruhi kelangsungan tingkat partisipasi sekolah anak. Saat ini, tak jarang anak-anak lebih memilih melangsungkan perkawinan dini, ketimbang melanjutkan pendidikan tinggi. 

Selain itu, perkawinan dini juga mempengaruhi tingkat kerja dan kemampuan daya beli ke depan. Sementara dari sisi tingkat daya beli, menurutnya, indikator ini sangat besar pengaruhnya pada indeks kualitas hidup manusia.

Pasalnya, daya beli menentukan tingkat konsumsi dan gizi yang bisa didapat untuk menghasilkan manusia yang berkualitas ke depan.

Untuk itu, pemerintah perlu mengantisipasinya dengan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Tujuannya agar pendapatan masyarakat terdongkrak sehingga daya beli membaik. Namun, tak ketinggalan, menurutnya, pemerintah juga perlu menjaga tingkat inflasi.

"Daya beli dan inflasi harus dijaga, kalau tidak, itu nanti sama juga bohong kalau inflasi tidak dijaga, karena nanti daya beli kena. Jadi harus utamakan daya beli," pungkasnya. (**H)


Sumber: CNN Indonesia