Siswa SMA Jakarta ini Diterima 9 Universitas Beken di Amerika Serikat


SeRiau - Sejarah yang membanggakan Indonesia dicetak oleh salah satu putera bangsanya, Moses Mayer. Siswa kelas 12 di Jakarta Intercultural School ini berhasil diterima di 5 universitas yang masuk dalam jajaran "Ivy League" di Amerika Serikat: Harvard University, Princeton University, Yale University, Cornell University dan University of Pennsylvania.

Ivy League adalah sebuah asosiasi yang terdiri dari 8 universitas terkemuka di Negeri Paman Sam, yakni Brown University, Columbia University, Cornell University, Dartmouth College, Harvard University, Princeton University, University of Pennsylvania, dan Yale University.

Istilah "Ivy League" sendiri mempunyai konotasi kesempurnaan akademis dan elitisme akademis. Bagi sebagian besar murid, bukanlah hal mudah untuk dapat diterima di kampus-kampus "Ivy League", mengingat persentase penerimaan yang sangat rendah dan kompetitif.

Seorang siswa dituntut untuk memiliki kemampuan lengkap. Bukan hanya akademik, tetapi juga keseluruhan holistik dan prestasi di luar akademik.

Selain diterima di 5 Ivy League, Moses juga diterima oleh universitas-universitas bergengsi lainnya di Amerika Serikat, yaitu M.E.T UC Berkeley, UCLA, University of Michigan dan Carnegie Melon University.

Menurut Liwan, ibunda Moses, anak keduanya ini sudah berprestasi sejak masih di Sekolah Dasar (SD) hingga saat ini duduk di bangku SMA. Bahkan ia sudah menguasai bahasa Inggris sejak kecil, sebab komunikasi sehari-hari di sekolahnya dilakukan dalam bahasa asing itu.

Ia berhasil menyabet medali emas OSN, medali emas National Olympiad in Informatics di Singapura, medali perunggu Internasional Olympiad of Metropolises di Moscow, medali perunggu di Junior Balkan Mathematics Olympiad di Romania, hingga medali-medali dan penghargaan-penghargaan di bidang matematika maupun bidang informatika di negara-negara seperti China, Kazakhstan, Hong Kong dan lain-lain.

Namun, meski demikian, remaja kelahiran 24 Februari 2002 ini belum memutuskan untuk memilih satu dari kesembilan universitas yang 'menyambut' dirinya itu.

"Belum kepikiran, masih dipertimbangkan. Mereka (pihak kampus) juga kasih waktu sampai 1 Mei," ujar Moses.

Sedangkan jurusan yang akan ia geluti, Moses memilih antara ekonomi, ilmu komputer atau matematika karena ketiga bidang ini sudah disukai olehnya sejak lama. Sedangkan Amerika Serikat adalah negara yang amat ingin disinggahinya untuk menuntut ilmu di perkuliahan.

Selain itu, melalui ketiga fokus tersebut, Moses yang bercita-cita ingin jadi social enterpreneur berharap bisa membantu perekonomian masyarakat kurang mampu dan berkontribusi besar bagi Tanah Air.

Dengan pengetahuan yang dia dapatkan ketika mengenyam pendidikan S1 di AS, Moses berkeinginan untuk kembali ke Indonesia dengan menyalurkan apa yang sudah dia peroleh ke masyarakat, secara langsung, selama berada di negara adidaya.

Selain prestasi akademik, sewaktu di kelas 10 dan 11 Moses juga melakukan berbagai riset di bidang matematika dan computer science di bawah bimbingan profesor-profesor dari Davidson College-USA, University of Gottingen, dan Stanford University-USA.

Salah satu penelitian Moses yang berjudul "On the Game-Theoritic Models of Indonesia's Pollution State" telah menjadi suatu inspirasi bagi dirinya untuk mendirikan NGO SampahLink.

Itu adalah sebuah organisasi non profit yang bertujuan untuk membantu mengurangi tingkat polusi, meningkatkan kesadaran daur ulang sampah kering, serta menciptakan tingkat kehidupan serta masa depan yang lebih baik bagi para pemulung atau kelompok masyarakat ekonomi lemah yang sering terlupakan.

Sementara itu, untuk masuk ke Ivy League dan universitas top di AS, Moses harus membuat banyak esai dan tulisan dalam bahasa Inggris sesuai dengan permintaan dari masing-masing universitas.

Moses menceritakan bagaimana matematika telah berperan dalam kehidupannya dan menginspirasinya dalam berkarya bagi lingkungan dan komunitas sosial.

"Moses juga mengumpulkan dana untuk meningkatkan kesejahteraan para pemulung seperti menyediakan microfinance untuk pengadaan alat-alat kerja bagi pemulung, pendidikan, dan lain-lain," tutur sang ibunda.

Melalui SampahLink dan microfinance club yang dipimpinnya, ia mampu memberikan solusi untuk menanggulangi polusi, kesadaran daur ulang, serta membantu menciptakan tingkat kehidupan dan masa depan yang lebih baik bagi kelompok masyarakat ekonomi lemah.

"Saya akan menggunakan kemampuan data science, matematika dan computer science untuk mengembangkan negaranya dan membantu mengatasi masalah di Indonesia," pungkas Moses. (**H)


Sumber: Merdeka.com