Menristekdikti: 300 Mahasiswa Indonesia Kerja Paksa di Taiwan Gunakan Jasa Calo

  • by Redaksi
  • Jumat, 04 Januari 2019 - 05:14:48 WIB

 

SeRiau – Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan, ratusan mahasiswa Indonesia yang kerja paksa di Taiwan tidak melalui program dari kementerian yang dipimpinnya, namun menggunakan jasa calo atau agensi.

“Dengan kata lain, mereka melalui jalur calo itu. Dari calo itu, mereka berangkat ke sana sendiri, ditawari bisa masuk perguruan tinggi sana. Ternyata tidak bisa diterima. Akhirnya dia bekerja di perusahaan. Akhirnya (jadi korban) penipuan kan,” kata Nasir di sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 2019 Kemenristekdikti, di Universitas Diponegoro, Semarang, Kamis (3/1/2019).

Dia pun mengatakan, hingga saat ini masih menyelidiki kasus ratusan mahasiswa yang menjalani kerja paksa tersebut. Di antaranya berkoordinasi dengan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei, Taiwan.

“Oleh karena itu kami akan bekerja sama dengan TETO (Taipei Economic and Trade Office), KDEI yang ada di Taiwan maupun yang ada di Jakarta. Saya sudah minta pada Dirjen Kelembagaan nanti berkoordinasi dengan TETO yang ada di Jakarta,” terangnya.

Untuk itu, dia mengimbau masyarakat tak mudah percaya dengan janji dan iming-iming yang disampaikan calo maupun agensi. Setiap warga negara Indonesia yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri bisa berkoordinasi dengan Kemenristekdikti agar tak menjadi korban penipuan.

“Saya berharap seluruh rakyat Indonesia yang akan studi lanjut ke Taiwan, tolong dicek betul. Apakah proses pembelajarannya benar atau tidak? Karena di Taiwan perguruan tinggi baik, kelas dunia juga banyak. Jangan sampai kita menggeneraliasi itu bermasalah semua di Taiwan,” tukasnya.

Kabar kasus kerja paksa ratusan mahasiswa asal Indonesia itu berawal dari informasi politikus Kuomintang Ko Chih-en. Para pelajar itu berusia di bawah 20 tahun dan masuk kelas hanya dua hari dalam sepekan.

Mereka menjadi buruh di pabrik dari pagi hingga malam. Mereka bekerja mengemas 30.000 lensa kontak selama 10 jam per shift. Sementara waktu yang disediakan untuk istirahat hanya dua jam. Meski mayoritas Muslim, namun mereka hanya mendapatkan makanan dari babi.

 

 

 

 

Sumber Okezone