Indonesia Dilanda Suhu Dingin dan Embun Es, Ada Tiga Penyebabnya

  • by Redaksi
  • Selasa, 07 Agustus 2018 - 09:40:57 WIB

 


SeRiau – Suasana dingin malam dan pagi hari kembali dirasakan masyarakat membuat sensasi cuaca Eropa hampir di sebagian besar wilayah Indonesia bagian selatan. Embun es yang menutup permukaan di beberapa daerah dataran tinggi menjadi wisata baru bagi banyak orang untuk berfoto dengan latar hamparan salju. Fenomena tersebut menarik perhatian dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara, Kedeputian Bidang Klimatologi BMKG, Siswanto dalam keterangannya menyebutkan, setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan kondisi cuaca saat ini menimbulkan suhu dingin dan embun es itu.

Penyebab pertama, kata Siswanto, adalah angin timuran dari Benua Australia yang memang mengalami peningkatan embusan kembali dalam beberapa hari terakhir ini, baik kecepatan anginnya maupun tingkat dinginnya. 

Udara dari angin timuran monsun Australia ini memang sifatnya kering dan dingin. Angin ini pula yang turut mengendalikan musim kemarau di Indonesia.

Akibat aliran dingin itu, jelas Siswanto, beberapa tempat oleh catatan pengamatan parameter cuaca BMKG pada Minggu pagi 5 Agustus 2018 diketahui mengalami suhu cukup rendah. Di Malang, Stasiun Geofisika Tretes mencatat suhu minimum Minggu pagi 15,2 derajat celsius. Stasiun Klimatologi Karangploso mencatat suhu minimum 17,6 derajat celsius. Di Batu, Malang, suhu terdingin bisa mencapai 13 derajat celsius. 

Hasil pengamatan suhu minimum di Stasiun Klimatologi Mlati Yogyakarta menunjukkan suhu terendah malam-pagi hari 18,6 derajat celsius. Di Dermaga Bogor dan Curug Tangerang masing-masing tercatat sekitar 20 derajat celsius dan 19 derajat celsius.
"Kondisi suhu itu termasuk relatif dingin dalam ukuran suhu rata-rata di Indonesia yang berkisar 28-29 derajat celsius," ujar Siswanto.

Penyebab kedua munculnya embun es di pegunungan Indonesia adalah laju penurunan suhu udara (lapse rate adiabatis). 

Apabila di dataran rendah seperti Tangerang saja tercatat 19 derajat celsius, terlebih lagi di daerah yang agak tinggi atau pegunungan, sebab semakin tinggi tempat akan berkurang suhunya secara gradual. 

Lapse rate adiabatis menggambarkan laju ketika udara bergerak naik dan mengalami penurunan tekanan udara, maka udara akan mengembang dan suhu menurun. 

Udara yang tidak jenuh akan mengalami laju penurunan suhu tetap sebesar 1 derajat celsius setiap naik 100  meter, atau sebesar 9,8 derajat celsius per km. Ini dikenal sebagai laju penurunan suhu adibatik kering. 

Ketika kolom udara tersebut mengalami kondensasi, maka laju penurunan suhu menjadi berkurang. Angkanya menjadi bervariasi, sekitar 0,5 derajat celsius per 100 meter untuk udara yang kandungan kelembabannya tinggi hingga 0,9 derajat celsius per 100 meter untuk udara yang kandungan kelembabannya rendah.

Sebagai contoh, apabila udara di Semarang suhunya 18 derajat celsius, maka di daratan tinggi Dieng yang berketinggian 2.565 meter di atas permukaan laut, suhu dapat turun hingga mencapai sekira - 5 derajat celsius pada kondisi udara kering di musim kemarau.

Molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang dari pada dataran rendah sehingga sangat cepat mengalami pendinginan, terlebih lagi pada saat cuaca cerah tidak tertutup awan atau hujan.

Pada malam hari uap air di udara akan mengalami kondensasi dan kemudian mengembun untuk menempel jatuh di tanah, dedaunan atau rumput. Air embun yang menempel di pucuk daun atau rumput akan segera membeku yang disebabkan karena suhu udara yang sangat dingin, ketika mencapai minus atau nol derajat.

Siswanto menuturkan, penyebab ketiga suhu dingin dan embus es, yakni pendinginan perairan selatan Jawa. Aliran suhu dingin dari monsun Australia yang berubah menjadi angin dari selatan di beberapa tempat di Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara, kondisi udara dingin diperkuat oleh pendinginan permukaan laut di perairan selatan Jawa yang dikenal sebagai fenomena upwelling. 

Pendinginan perairan selatan Jawa itu bisa 3 derajat celsius lebih rendah dibandingkan perairan Laut Jawa atau lainnya. 

"Upwelling selatan Jawa memang sudah dikenal sebagai fenomena musiman yang menguat bersamaan dengan puncak musim kemarau di Indonesia bagian selatan, atau puncak aliran monsun dari Australia itu," jelasnya. 

 

 

Sumber VIVA.co