Fadli Zon: Prabowo Sudah Benar, Ini Memang Rezim Raja Utang


SeRiau - Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menegaskan kritik yang disampaikan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tentang bahaya utang Indonesia yang telah menyentuh angka Rp9.000 triliun sangat wajar.

"Utang itu seperti api. Jika kecil ia jadi teman. Tapi jika besar, atau tak terkelola, bisa jadi sumber malapetaka. Pak Prabowo hanya memberikan peringatan. Jangan sampai rumah kita harus terbakar dulu untuk membuktikan jika api itu bisa berbahaya," kata Fadli lewat keterangan tertulis, Selasa (26/6).

Fadli memperingatkan hampir semua krisis ekonomi yang pernah terjadi selalu terkait dengan utang. Fadli mengungkit kasus krisis Amerika Latin pada dekade 1980-an, krisis Asia pada tahun 1997/1998, dan krisis finansial global tahun 2008. 

Seluruh kriris tersebut, imbuh Fadli, bermula dari krisis utang. Sehingga, Fadli meminta agar semua pihak harus melihat masalah utang ini dari potensinya terhadap krisis. Bukan hanya dari rasio teknis yang seringkali menyamarkan kondisi sebenarnya.

"Data yang disampaikan Pak Prabowo adalah data resmi milik pemerintah sendiri. Itu angka per 31 Desember 2017. Itu sebabnya saya heran jika ada menteri yang menanggapi kritik Pak Prabowo ini dengan mempertanyakan akurasi data atau mempertanyakan penguasaan Pak Prabowo atas persoalan utang," ungkapnya.

Lebih lanjut, Fadli menyarakan daripada berdalih tentang amannya jumlah utang Indonesia saat ini, lebih baik pemerintah meningkatkan kewaspadaan dan menyusun langkah-langkah tambahan seandainya akumulasi utang Indonesia semakin tak terkontrol.

Menurut Fadli, per akhir Desember 2017, utang Lembaga Keuangan Publik Bruto adalah sebesar Rp3.733.276 miliar. Posisi Utang Perusahaan BUMN Bukan Lembaga Keuangan Bruto sebesar Rp610.780 miliar. Jika ditotal, keduanya bernilai Rp4.344,06 triliun. 

Sementara itu, jumlah utang Pemerintah pusat adalah sebesar Rp3.938,45 triliun. Jadi, kata Fadli, utang sektor publik kita akhir 2017 adalah sebesar Rp8.282,51 triliun.

"Itu baru utang sektor publik, belum menghitung utang swasta," tuturnya.

Utang sektor publik, kata Fadli, terdiri dari tiga komponen, yaitu utang pemerintah pusat, utang Bank Indonesia, serta utang BUMN. Sebagai catatan, posisi utang swasta per Februari 2018 adalah sebesar Rp2.351,7 triliun.

"Jadi sekali lagi, angka yang disampaikan Pak Prabowo itu adalah angka per 31 Desember 2017. Saat ini jumlahnya tentu sudah bertambah lagi," tambahnya.

Dalam catatan Fadli, per 30 April 2018 posisi utang pemerintah sudah mencapai Rp4.180,61 triliun. Angka itu berasal dari pinjaman sebesar Rp773,47 triliun dan dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp3.407,14 triliun.

Wakil Ketua DPR ini menambahkan peringatan mengenai bahaya utang ini sebenarnya bukan merupakan hal baru. Pasalnya pada Maret lalu juga sudah pernah diingatkan oleh para ekonom INDEF. 

INDEF memperingatkan meskipun akumulasi utang Indonesia terus membesar, namun terbukti utang Indonesia tidak produktif. Efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi, pemberian nilai tambah, serta terhadap angkatan kerja tak terlihat. 

"Penilaian tersebut bukan disampaikan oleh politisi, tapi oleh para ekonom," ungkapnya.

Fadli pun menilai agresivitas pemerintah dalam berutang memang pantas untuk dikritik. Pada tahun 2014, posisi utang kita masih di angka Rp2.604,93 triliun. Kini angkanya sudah mencapai Rp4.180,61 triliun. Jadi, menurut Fadli, dalam tiga setengah tahun utang kita bertambah lebih dari Rp1.500 triliun.

"Celakanya, meski pertumbuhan utang kita mencapai 13 hingga 14 persen per tahun selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, namun dalam tiga tahun terakhir perekonomian kita hanya bisa tumbuh di limit 5 persen saja. Mentok. Itu bukti bahwa utang kita tidak produktif, sehingga memang pantas dikritik," katanya.

Atas dasar itu, Fadli meminta pemerintah jangan selalu berkelit bahwa rasio utang Indonesia terhadap PDB masih di bawah 60 persen, sehingga dikesankan seolah masih aman. Sebab, menurut Fadli, meskipun rasio utang Indonesia masih di bawah 60 persen, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi, rasionya terus meningkat.

Fadli menambahkan sebelum pemerintahan Jokowi, rasio utang Indonesia terhadap PDB sebenarnya telah turun. Selama dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ia berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari angka 57 persen menjadi tinggal 24 persen saja pada 2014. 

Pada saat bersamaan, dalam sepuluh tahun pemerintahannya, SBY hanya menambah utang sebesar Rp1.400 triliun saja. Secara makro, menurut Fadli, catatannya cukup bagus.

"Sayangnya, catatan baik itu kini melorot lagi di era Presiden Jokowi. Sejak 2015, rasio utang kita terhadap PDB kembali naik. Tahun 2017, rasionya bahkan telah berada di angka 34,82 persen," jelasnya.

Lagi pula, tambah Fadli, batas 60 persen, sebagaimana diatur dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara sebaiknya tidak dijadikan satu-satunya acuan pemerintah. Rasio tersebut, imbuh Fadli, tak selalu akurat menunjukkan tingkat kesehatan fiskal Indonesia.

Fadli mengatakan untuk keperluan kehati-hatian dalam pengelolaan utang, pemerintah seharusnya memperhatikan rasio utang terhadap pendapatan negara. Pendapatan negara itulah yang nantinya digunakan untuk membayar beban utang. 

"Masalahnya, selama pemerintahan Joko Widodo, rasio utang terhadap pendapatan negara terus meningkat," tambahnya.

Pada tahun 2014, rasio utang terhadap pendapatan negara masih berada di angka 168,3 persen. Tahun 2015 dan 2016 rasionya naik menjadi 209,9 persen dan 225,4 persen. Terakhir, pada 2017 silam, rasionya terus meningkat menjadi 237,9 persen. Artinya, kata Fadli, jumlah utang sudah 2,38 kali lipat dari pendapatan Indonesia.

Fadli mengaku heran jika pemerintah masih tidak malu menyebut posisi utang Indonesia masih aman jika untuk membayar bunga dan cicilan utang harus dilakukan dengan menambah utang. Menurut Fadli, utang baru bisa dianggap aman jika pelunasannya tidak mengganggu likuiditas. 

"Manajemen utang gaya gali lubang tutup lubang ini berbahaya. Tidak boleh diteruskan," tambahnya.

Fadli menyimpulkan kritik yang disampaikan Prabowo sudah benar. Prabowo dan Partai Gerindra, kata Fadli, tidak asal bunyi dalam mengkritik soal utang Indonesia saat ini. 

"Mahal sekali harga yang akan kita bayar jika pemerintah tak bisa dikritik dan diingatkan. Prabowo sudah benar, ini memang rezim raja utang," pungkasnya. (**H)


Sumber: CNN Indonesia