Cikeas Tancap Gas


SeRiau - Jokowi boleh saja jadi presiden dua periode, tapi Agus Harimurti Yudhoyono adalah pemimpin masa depan.

Setidaknya, itulah keyakinan dan kebanggaan banyak kader Partai Demokrat. Mereka tak perlu lagi repot-repot mencari calon pemimpin bangsa karena putra mahkota, sang bintang terang, ada di depan mata.

Bila pun Jokowi kembali terpilih sebagai presiden pada Pemilu 2009, itu adalah periode terakhirnya menjabat. Berdasarkan Pasal 7 UUD 1945, setelah itu ia tak dapat mencalonkan diri lagi menjadi presiden, karena masa jabatan seseorang sebagai presiden dibatasi hanya sampai dua periode.

Maka tahun 2024 nanti, Jokowi tak bisa lagi maju, dan Prabowo Subianto akan sudah cukup tua (saat ini ia 66 tahun, berumur 72 tahun pada 2024). Sementara AHY yang kini masih 39 tahun, akan berusia 45 tahun di 2024 (ingat adagium life begins at forty?)

Dan hingga kini, belum ada tokoh menonjol di luar Jokowi, Prabowo, dan Prabowo yang secara serius disiapkan partai-partai politik sebagai calon presiden. Dan dari ketiganya, faktor usia muda AHY dianggap sebagai nilai plus.

Jadi, “AHY 2024 seng ada lawan,” kata Andi Mallarangeng di Jakarta, Kamis (22/3). Selepas dari penjara, mantan Menpora itu kini berkiprah lagi di Demokrat membantu sang ketua umum, Susilo Bambang Yudhoyono.

Andi mungkin tak berlebihan. “Agus memang potensial dan angka (popularitasnya) tinggi,” kata Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Amir Syamsuddin, Jumat (23/3).

Ia menambahkan, “Terjadi disparitas--citra AHY semakin ke atas, sedangkan Demokrat di bawah. Jadi modal Demokrat di 2019 sebenarnya adalah AHY. AHY kini mempertaruhkan diri demi Demokrat, dan kami harus mendukungnya.”

Ucapan Amir bukan datang dari ruang hampa. Ia mendasarkannya pada berbagai hasil survei selama setahun terakhir. Pada Maret 2017 misalnya, survei Indo Barometer menunjukkan popularitas AHY yang cukup tinggi, pada angka 71,7 persen. Di atasnya berturut-turut adalah Jokowi, Jusuf Kalla, Megawati, dan Prabowo Subianto.

Soal elektabilitas, perolehan rendah AHY yang 0,4 persen berdasarkan survei Indo Barometer Maret 2017 itu, ternyata terus membaik selepas Pilkada DKI Jakarta April 2017. Akhir 2017, elektabilitas AHY sudah di kisaran 2 persen, merujuk hasil survei sejumlah lembaga.

Survei terbaru Polcomm Institute yang dirilis Minggu (25/3), menyatakan bila muncul Poros Tengah di luar Jokowi dan Prabowo pada Pilpres 2019, maka tiga tokoh yang berpotensi menjadi calon presidennya ialah AHY dengan elektabilitas 21 persen, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan 15,35 persen, dan Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo 12,53 persen. 

AHY ini kayak Tesla, beda dengan General Motors. (Penjualan produk) Tesla terus naik, sedangkan General Motor terus turun. Kami punya AHY ini (popularitas dan elektabilitasnya) terus naik.

Bagi Amir, AHY bukan sosok ambisius. Putra sulung SBY itu, menurut Amir, terbiasa bertindak realistis dan tak memaksakan hal di luar kalkulasi.

Tapi, seperti kata pepatah China, a journey of a thousand miles begins with a single step, maka AHY, ambisius atau tidak, mesti mempersiapkan diri dari sekarang, akan jadi apa pun dia nanti.

“AHY sesungguhnya amat siap untuk jadi capres, tapi kami realistis. Sebab belum tentu dia siap lalu langsung disetujui orang lain. Demokrat hanya punya 10 persen suara (di parlemen),” ujar seorang sumber di internal Demokrat soal hitung-hitungan peluang AHY di atas kertas pada Pemilu 2019 tahun depan.

Sepuluh persen suara, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tak mencukupi bagi partai politik atau gabungan parpol untuk mengusung calon presiden. Syarat minimalnya ialah partai atau gabungan parpol tersebut mengantongi 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya (artinya Pemilu 2004).

Itu sebabnya, layaknya langkah pertama Demokrat menceburkan AHY yang masih ‘mentah’ dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta 2017, mereka kini terus menggembleng sang putra mahkota. Mengirimnya ke sana ke mari guna lantang bersuara mengampanyekan calon-calon Demokrat dalam Pilkada Serentak 2018--yang tentu saja, sekaligus untuk membuat publik di berbagai daerah (tak hanya Jakarta) lebih familier dengan sosoknya.

Menyitir sebuah peribahasa, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Begitulah kira-kira taktik Demokrat.

Itulah sebabnya, jabatan ‘mendadak’ sebagai Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat disematkan ke pundak AHY, dan memang amat pas dengan tujuan jangka panjang Demokrat untuk ‘mengamankan’ langkahnya bersama partai di masa depan. 

Salah jika orang melihat sosok AHY yang menyodorkan diri (ke politik), walau ayahnya Ketua Umum dan adiknya Sekjen Demokrat. AHY memang diperlukan Demokrat. Figur AHY memiliki peluang untuk bisa memulihkan Demokrat.

Dulu Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203/Arya Kemuning TNI Angkatan Darat, kini Komandan Kogasma Demokrat untuk Pilkada 218 dan Pilpres 2019. Pokoknya, bagi Demokrat, Agus Susilo Bambang Yudhoyono akan selalu menjadi komandan mereka.

“AHY adalah wajah baru dan pemimpin baru Partai Demokrat, menggantikan Pak SBY,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Rachland Nashidik.

Saat ini, sambungnya, SBY telah memutuskan untuk ‘Tut Wuri Handayani’ yang artinya “menjadi guru yang memberikan dorongan dan arahan dari belakang”. Lebih dari itu, ujar Rachland, SBY pun telah memberi kewenangan kepada AHY untuk ikut memutuskan kebijakan strategis partai, termasuk soal koalisi pada Pilpres 2019.

Terlepas bahwa politik adalah seni segala kemungkinan (art of possibility), kemungkinan itu--meminjam bahasa yang sering digunakan SBY--harus terukur. Maka bagi SBY dan Demokrat, jalan AHY kini tak lagi ‘pelan tapi pasti’, tapi ‘cepat dan harus pasti’.

Sekali lagi, karena itulah jabatan Komandan Kogasma amat pas buat AHY. Pertanyaan sempat mengemuka: sebetulnya buat apa sih ada Kogasma lagi, padahal Demokrat sudah punya Komisi Pemenangan Pemilu (KPP) yang diketuai oleh Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas)? Kan dua-duanya mengurusi pemilu.

“KPP menetapkan kebijakan strategis bersama Ketua Umum terkait Pilkada dan Pilpres, Kogasma merumuskan strategi dan pelaksanaan kemenangan di lapangan,” ujar Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Didik Murianto.

Bisa dibilang, KPP semacam think tank, sedangkan Kogasma ibarat ‘tim buser’ yang terus-menerus bergerak di lapangan. Dan memang itulah yang diinginkan Demokrat: mengirim AHY ke sana-sini agar bertemu sebanyak mungkin orang, sehingga pula wajahnya cepat dihafal rakyat, bahkan hingga ke pelosok.

Kogasma, tegas Didik, ialah magnet pergerakan Demokrat menuju pemenangan Pemilu 2019, dan karenanya dibentuk DPP Demokrat dengan tujuan jelas. 

Agus Yudhoyono itu diproyeksikan dalam jangka panjang menjadi Ketua Umum Demokrat sekaligus ikon. Ia lokomotif suara bagi Partai Demokrat. 

“AHY! AHY! AHY!” Seruan itu bergemuruh di Sentul International Convention Center, Bogor, Minggu (11/3), menyambut kedatangan Agus Harimurti Yudhoyono yang malam itu akan menyampaikan pidato penutup pada gelaran Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat.

Suasana begitu meriah. Para kader Demokrat seperti tak menyambut seorang politikus, melainkan superstar. Pekikan “AHY! AHY!” terus bergema di udara sampai AHY berdiri di podium dan menyapa hadirin.

Itu kali pertama AHY menyampaikan pidato politik pasca-Pilkada DKI Jakarta 2017, dan ia disongsong gegap gempita. AHY, bak tak mau mengecewakan pendukungnya, menggelontorkan pidatonya dengan semangat menggebu. Ia menekankan pentingnya menjaga “mata rantai sejarah” dari Sukarno ke Jokowi, dari generasi ke generasi, dari masa ke masa. Boleh dikata, ini pidato yang ambius untuk debutnya melaju ke 2019.

Semua presiden Indonesia ia sebutkan, lengkap beserta jasa-jasa mereka. AHY seolah menegaskan: ia mencatat baik-baik perjalanan bangsa--dan siap ambil peran penting di dalamnya.

“Itulah makna ‘keberlanjutan dan perubahan’. Yang baik, lanjutkan. Yang belum baik, perbaiki,” ujar AHY menutup pidato--tentu lagi-lagi diiringi sorak-sorai membahana.

Jelas sekali, AHY kini dipandang Demokrat sebagai aset berharga. Sejak Rapat Kerja Nasional Partai Demokrat pada Juli 2017, nama AHY telah dimasukkan ke dalam strategi besar menghadapi tahun politik 2019. 

Demokrat sadar betul, nama tokoh amat penting untuk mengerek elektabilitas partai. Maka muncullah tiga tokoh sentral di internal Demokrat: AHY, Gubernur NTB Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB), dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo. 

Dari ketiganya, Roda Tiga Kosultan--lembaga survei dan konsultan politik--mencatat elektabilitas AHY paling tinggi, sebesar 2,3 persen. Sementara TGB 0,2 persen, dan Soekarwo 0,4 persen.

Eits, jangan kira itu cuma karena faktor AHY anak SBY, kata Demokrat. “AHY dapat tempat di hati kader Demokrat karena memang AHY setiap kali jalan ke daerah, dia selalu mengunjungi Dewan Pimpinan Cabang dan Dewan Pimpinan Daerah,” ujar Rachland.

Jadi sebetulnya, peningkatan elektabilitas AHY bukan berkah dari langit, tapi kerja berat Dewan Pimpinan Pusat Demokrat dan Cikeas, tentu saja, untuk mengereknya hingga 2019.

“Mudah ‘menjual’ AHY dalam konteks sebagai pemimpin bangsa masa depan,” ujar Andi. Sebab, AHY memang sudah punya modal.

Kombinasi usia muda, status anak presiden, mantan prajurit unggulan, dan perilaku santun menjadi adonan yang mesti diaduk dengan resep pas.

Apa itu cukup? Belum tentu. Tak ada yang pasti dalam politik. AHY, Cikeas, dan Demokrat mungkin harus banting tulang dulu. Simak ulasan berikutnya di Ekspose ‘Cikeas Tancap Gas’.

sumber kumparan