'Pelakor' dan Potret Wanita yang Disalahkan Saat Selingkuh


SeRiau - Istilah 'pelakor' alias perebut laki orang kini begitu dekat dengan sebagian warga. Setiap kasus perselingkuhan dengan pria yang berstatus suami orang lain terungkap publik, sang perempuan langsung mendapatkan julukan pelakor.

Tak jarang, para perempuan ini juga kerap menjadi sasaran amukan di dunia nyata atau media sosial. Padahal, sebuah hubungan terjadi lantaran ada kesepakatan dari kedua belah pihak. Konsultan gender dan HAM Tunggal Pawestri menilai julukan pelakor tak layak disematkan pada perempuan. Perempuan, bisa saja jadi pihak yang dirayu atau digoda pria beristri.

"Padahal bisa jadi perempuan-perempuan idaman itu ditipu (oleh pria)," kata Tunggal saat berdiskusi dengan CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Akan tetapi, menurut Tunggal, konstruksi sosial yang dibangun dalam budaya Indonesia, membuat fakta ini acap kali dikesampingkan. Alhasil, predikat pelakor muncul dan melekat pada perempuan. Tunggal melihat di balik kata pelakor terdapat ketimpangan gender yang didominasi laki-laki.

"Kita harus melihat ini sebagai bukti tambahan adanya ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki. Ada konstruksi sosial yang melemahkan posisi perempuan khususnya saat menyangkut relasi suami istri atau antar kekasih," tutur Tunggal.

Tunggal menjelaskan selama ini masyarakat Indonesia dibesarkan dalam kultur dan ajaran agama dengan anggapan laki-laki lumrah sebagai seorang yang nakal dan agresif. Sebaliknya, perempuan mesti menerima dan patuh.

Jika terjadi penyimpangan, cap atau kecaman muncul dari masyarakat. Budaya ini tercermin dalam kata pelakor.

"Walhasil, dalam setiap perselingkuhan, laki-laki dianggap 'wajar', sementara perempuan dianggap 'nakal'," ujar Tunggal yang juga merupakan seorang aktivis kesetaraan gender.

Tunggal juga menyoroti kata pelakor menunjukkan posisi yang sama dengan kata yang digunakan saat laki-laki berhubungan seksual dengan perempuan.

"Dan ini yang menarik, satu sisi perempuan selalu diposisikan sebagai mahluk pasif dengan istilah 'dipakai' 'dimasukin' saat seks, tapi saat terjadi perselingkuhan, perempuan berubah diposisikan sebagai mahluk aktif dengan menjadi perebut, kontradiktif ya?" kata Tunggal.

Dalam penggunaan kata yang berbeda ini, Tunggal melihat terdapat budaya yang membuat kelakuan laki-laki harus selalu dipahami.

"Karena ada permisifitas terhadap kelakuan laki-laki, mereka jadi 'aman'. Sementara perempuan idaman itulah yang jadi sasaran," ucap Tunggal.

Di sisi lain, Tunggal juga tak ingin menyalahkan para istri yang marah kepada selingkuhan suami mereka. Menurut Tunggal, mereka sama-sama sebagai korban.

"Karena konstruksi itulah, disertai kalut dan kemarahan, ya meluap ke perempuan lain. Padahal mereka ya sama-sama korban kelakuan brengsek laki-lakinya," kata Tunggal.

Ia menyarankan agar para istri yang diselingkuhi suaminya dapat mengelola emosi dengan baik agar tak berujung pada keributan yang tak bermanfaat. Dia juga meminta agar pendidikan publik soal kesetaraan gender terus digalakkan.

"Juga bangun kampanye agar perempuan saling menguatkan satu sama lain untuk bersama melawan seksisme dan pandangan patriarkis. Semoga lebih banyak orang dan ruang untuk hapus gender stereotipe," tutur Tunggal.(sumber : CNN Indonesia)